Oleh: Prof. KH. Husnan Bey Fananie, MA (Duta Besar Indonesia untuk Azerbaijan)
Deliknews.com – Boleh jadi, “cinta” menjadi sebuah kata paling tua. Meski tidak selalu diucapkan, paling tidak kata “cinta” menjadi penyambung dua hati yang berbeda. Itu pula tampaknya yang terjadi pada Adam dan Hawa. Entah seperti apa bahasa yang mereka gunakan untuk mengungkapkan “cinta”, namun kitab suci mencatat keduanya terusir dari surga akibat bujukan Iblis. Ya, saat itu Adam dan Hawa lebih mencintai bujuk rayu Iblis dibanding mencintai perintah Allah ‘Azza wa Jalla.
Lalu atas nama “cinta” pula Adam dan Hawa memohon ampun atas segala khilaf. Setelah sekian lama keduanya terpisah, akhirnya Allah Swt. berkenan mengampuni dan menyatukan keduanya. Adam dan Hawa kembali meraih “cinta” sebenarnya. Mereka menyadari bahwa sejatinya “cinta” haruslah disandarkan pada Sang Pemilik Cinta, yakni Allah ‘Azza wa Jalla.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebagai makhluk yang dianugerahi akal dan nafsu, setiap manusia tentu memiliki rasa cinta. Namun sayangnya, tak setiap manusia dapat meletakkan rasa cinta pada tempat sebenarnya. Bahkan sebagian besar manusia tergelincir saat meletakkan dan mengaplikasikan rasa cinta. Kisah Adam dan Hawa seolah simbol bahwa anak-cucu keduanya, kelak, sangat berpotensi untuk lebih memilih “cinta” berdasarkan bujuk rayu Iblis, dibandingkan “cinta” sebenarnya dari Allah Swt.
Kita bisa berkaca pada sekeliling kita. Banyak kasus mencerminkan ketidakmengertian manusia mengaplikasikan “cinta”. Dan banyak pula yang sebenarnya mengerti namun tidak mau mengerti. Inilah golongan yang benar-benar disesatkan Iblis laknat durjana. Mereka melakukan beragam kemaksiatan dengan atas nama cinta, yang menurut mereka adalah fitrah setiap manusia.
Betul bahwa “cinta” adalah fitrah setiap manusia, namun mereka umumnya memaknai “cinta” sama dengan pelampiasan nafsu. Mereka aplikasikan “cinta” dengan seks bebas (free sex), berselingkuh, hingga perbuatan biadab lainnya yang tak lebih merupakan siasat Iblis. Mereka sejatinya sama sekali tak mengagungkan “cinta” sebagai fitrah setiap manusia.
Dalam Islam, “cinta” memiliki nilai yang sangat tinggi, sangat diagungkan. Bahkan manusia diperintahkan untuk sangat berhati-hati meletakkan “cinta” dalam kehidupannya. Sebab kalau saja salah, maka kesengsaraan di dunia dan kesengsaraan di akhirat lah balasannya.
Siapa yang Pantas kita Cintai?
Jika ukurannya adalah mencintai makhluk Allah, siapakah yang pantas kita cintai? Mari merujuk pada sebuah kisah dalam sebuah hadits, Anas bin Malik mengatakan: “Pada suatu hari, orang Arab pedalaman bertanya kepada Nabi Muhammad Saw. tentang hari kiamat. “Kapan datang hari kiamat?” tanyanya. Lalu, beliau balik bertanya, “Apa yang sudah kamu persiapkan untuk menyambut kedatangannya?” Orang tersebut menjawab, “Aku tidaklah mempersiapkan untuk menghadapi hari tersebut dengan banyak shalat, banyak puasa dan banyak sedekah. Tetapi yang aku persiapkan adalah cinta Allah dan Rasul-Nya.” Nabi Saw. bersabda, “(kalau begitu) Anta ma`a man ahbabta (engkau akan bersama orang yang engkau cintai).” (HR. Bukhari no. 6171 dan Muslim no. 2639).
Dalam riwayat lain Anas mengatakan, “Kami tidaklah pernah merasa gembira sebagaimana rasa gembira kami ketika mendengar sabda Nabi Saw.: Anta ma’a man ahbabta (Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai).” Anas pun mengatakan, “Kalau begitu aku mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan ‘Umar. Aku berharap bisa bersama dengan mereka karena kecintaanku pada mereka, walaupun aku tidak bisa beramal seperti amalan mereka,” (HR. Bukhari no. 3688).
Menurut An-Nawawi (pengarang syarah Shahih Muslim), hadits ini menerangkan keutamaan cinta kepada Allah dan rasul-Nya serta juga cinta kepada para penggiat kebaikan, baik mereka yang masih hidup maupun yang sudah mati.
Berdasarkan hadits di atas, masih pantaskah jika kita mencintai makhluk Allah Swt. selain Rasulullah Saw? Kalau pun ada, apakah mereka pantas kita cintai dan kita banggakan karena amal perbuatannya di hadapan Allah Swt?
Islam mengajarkan kepada kita untuk memilih sosok yang pantas kita cintai, kita idolai. Ukurannya, bukanlah ketampanan, keindahan fisik, popularitas, kekayaan, atau sisi-sisi materalistik lainnya. Ukuran sebenarnya adalah seberapa besar kedekatan sosok yang kita idolai tersebut kepada Allah Swt. Seberapa besar sosok yang kita cintai tersebut benar-benar mencintai Allah Swt. dengan melaksanakan segala perintahNya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Dalam Surah Al-Fatihah yang berulang-ulang dibaca saat shalat, kita senantiasa meminta agar diberikan “Jalan Lurus”, yakni jalannya orang-orang yang Allah anugerahi kenikmatan, bukanlah orang-orang yang Allah murkai dan disesatkan. Kategori orang-orang yang Allah anugerahi kenikmatan inilah yang semestinya kita cintai dan kita idolai. Lalu, siapakah mereka? Allah Swt. menjawabnya dalam QS. Annisa ayat 69:
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: para nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid (syuhada), dan orang-orang saleh (shalihin). Dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya.”
Subhanallah! Allah Swt. sendiri menunjukkan kepada kita, siapa yang pantas kita cintai, kita idolai, dan kita jadikan teman. Tentu saja, cara kita mencintai mereka berdasarkan cinta kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Cara Mencintai Rasulullah Saw.
Kelompok yang dianugerahi Allah Swt., seperti yang disebutkan di atas, adalah orang-orang yang mengikuti perintah Allah Swt. dan rasul-Nya. Mereka juga kelompok yang sangat mencintai Rasulullah Saw. dalam setiap pikiran dan perilaku sehari-hari. Sebagai komitmen jiwa, tentu saja cinta menuntut pikiran, perhatian, dan tindakan sekaligus.
Begitu pula jika kita mencintai Rasulullah Saw. Paling tidak, untuk menunjukkan cinta kita kepada Rasulullah Saw., ada empat hal yang mesti dilakukan, yakni: Pertama, Al-Ittiba` wal Iqtida. Kita harus senantiasa mengikuti ajaran dan petunjuk (sunnah) beliau serta mewujudkan dan menghidupkannya sepanjang masa.
Kedua, Assam`ah wat Tha`ah. Kita harus senantiasa mendengar dan patuh kepadanya. Hal ini karena cinta menuntut kepatuhan, seperti terbaca dengan jelas dalam syair Arrawwaq. “Kau durhaka meski kau menyatakan cinta. Itu pasti bukan cinta, tapi dusta. Kalaulah cintamu itu sejati, pastilah kau patuh karena orang yang cinta selalu mengikuti kemauan orang yang dicinta.”
Ketiga, Al-Ittishal wal Qurb. Kita harus senantiasa berusaha mendekat dan membangun hubungan yang kuat dengannya. Setiap orang yang cinta pasti tak ingin lepas dan berpisah dari kekasihnya. Inilah bahasa dan logika cinta. Dan keempat adalah Adzdzikr wat Tadzakkur. Kita harus senantiasa ingat kepadanya dan berusaha menghadirkan dirinya dalam ingatan dan kesadaran.
Dalam adagium Arab, terdapat ungkapan, “Siapa orang yang mencintai sesuatu, ia akan selalu mengingat dan menyebut-nyebutnya selalu.” Maka, sebagai salah satu bukti cinta kepada Rasulullah, kita harus sering-sering bershalawat dan menyampaikan salam kepadanya.
Setelah mengetahui makna “cinta” sebenarnya, sudah semestinya kita meletakkan “cinta” pada tempat yang sebenarnya. Marilah kita senantiasa berharap dan berdoa agar Allah ‘Azza wa Jalla, Sang Pemilik Cinta, menganugerahi kita kecintaan pada-Nya dengan mengikuti sunnah Rasulullah Saw. dan menjadikan shiddiqiin, syuhada, dan shalihins sebagai teman di dunia dan di akhirat.
Wallahu A’lam bish Shawab.