Oleh : Raditya Rahman (Pemerhati Masalah Politik)

Deliknews.com – Terungkap dari 100 masjid di lingkungan kementerian, lembaga serta Badan Usaha Milik Negara (BUMN), terdapat 41 masjid yang terindikasi telah terpapar paham radikalisme.

Diantaranya 11 masjid kementerian, 22 di lingkungan lembaga dan 21 masjid di lingkungan BUMN. Dari 41 masjid tersebut terdapat 7 masjid berkategori rendah, 17 masjid masuk pada kategori sedang dan 17 masjid masuk dalam kategori radikalisme tinggi.

Selain itu, Badan Intelijen Negara (BIN) juga memaparkan bahwa ada sekitar 500 masjid di seluruh Indonesia yang terindikasi terpapar paham radikal.
Disamping permasalahan masjid, BIN juga menyoroti degradasi ideologi yang tengah terjadi.

Persoalan utamanya adalah meningkatnya konflik sosial seperti SARA, serta konten provokatif yang beredar di media massa. Mungkin aktivis masjid atau takmir masjid perlu berkaca pada sebuah sikap toleransi yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Dimana pada tahun 10 H, Rasulullah SAW kedatangan umat Kristen dari Najran.

Nabi menyambut tamunya dengan ramah. Namun secara kebetulan pertemuan itu terjadi pada petang hari dan rombongan Kristen tersebut perlu beribadah. Maka Nabi mempersilakan tamunya untuk menggelar kebaktian di Masjid Nabawi.

Meski saat itu para sahabat memberikan kode keras kepada Nabi agar tidak mengizinkan umat Nasrani beribadah di Masjid Nabawi. Namun hal itu tidak digubris oleh Rasulullah SAW, hingga kemudian para sahabat paham bahwa hal seperti itu diperbolehkan karena alasan darurat.

Namun bagaimanapun juga peristiwa tersebut merupakan catatan sejarah akan praktek toleransi. Tentu saja hal tersebut tidak dilakukan secara serampangan oleh Nabi, karena bagaimanapun juga Nabi Muhammad SAW adalah suri tauladan yang konsisten membawa landasan argumen yang mengacu pada teks Al – Qur’an.

Secara harfiah, masjid merupakan peralihan bentuk dari kata sajada-yasjudu yang artinya tempat bersujud. Sedangkan sujud secara sosiohistoris dapat diartikan dengan suatu rangkaian ritual penyerahan ridi kepada yang Maha Kuasa.

Dalam kisah diatas tentu tidak mengajarkan kita untuk beribadah secara bergantian, melainkan ajaran untuk menjunjung toleransi dan tolong menolong dalam kebaikan. Sebab masjid ialah tempat untuk berserah diri. Siapa saja yang memasuki masjid pada hakikatnya ia telah melepaskan segala kebesarannya sehingga tercipta oto egaliter antara dirinya dengan wujud yang lain.
Dengan adanya masjid yang terpapar radikalisme, tentu hal ini menjadi perhatian yang amat serius bagi semua pihak.

Jika radikalisme terdapat pada 41 masjid di lingkungan kementrian maupun BUMN, maka bisa ditarik sebuah hipotesis bahwa pegawai kementerian dan aparatur sipil negara sedang menjadi target utama penyebaran paham radikalisme.

Ancaman radikalisme merupakan bahaya nyata. Gerakannya bisa jadi laten, namun destruktif. Sementara ancaman itu kini diduga kuat berkembang melalui masjid – masjid yang di dalamnya terdapat para aparatur sipil negara. Gerakannya lagi – lagi melalui masjid, sebuah tempat suci yang semestinya menjadi pusat penyebaran rahmat Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Tanggung jawab menjaga masjid dari serangan radikalisme bukan saja tugas pemerintah. Namun tiap warga negara memiliki hak konstitusional untuk membela negara. Sehingga masjid dapat kembali pada fungsinya, yaitu sebagai tempat untuk beribadah dan berdoa kepada Allah SWT.

Selain radikalisme, beberapa golongan juga memanfaatkan masjid sebagai ajang untuk eksistensi politisnya, ujaran kebencian disebarkan, semangat toleransi diredupkan, hingga dogma seperti “pemilih pemimpin kafir, jenazahnya tidak usah dishalatkan”.

Hal ini tentu mencoreng kebhinekaan yang telah dijunjung oleh founding father NKRI. Makna politisasi masjid secara sederhana dapat diartikan sebagai satu upaya untuk menjadikan masjid sebagai tempat kampanye politik terselubung.

Masjid dianggap sebagai tempat yang strategis untuk berkampanye, hal ini dikarenakan tempat ibadah tersebut merupakan salah satu pusat berkumpulnya kaum muslim.

Upaya penggiringan opini dan mobilisasi massa dilakukan dengan menyetir 1 atau 2 ayat Al Qur’an. Perjuangan politik berorientasi pada kekuasaan yang dicitrakan bahwa seolah – olah hal tersebut merupakan perjuangan agama yang penuh kesucian.

Dilibatkannya unsur agama dalam ranah politik praktis telah terbukti memunculkan banyak hal negatif, mulai dari diskriminasi, potensi perpecahan sampai kekhawatiran akan munculnya konflik sosial yang lebih besar.

Di sisi lain, politisasi masjid juga dapat dimaknai sebagai perilaku merendahkan nilai – nilai agama. Agama umumnya selalu berisi sekumpulan ajaran tentang ketuhanan, kemanusiaan, perdamaian dan hal – hal indah lainnya.

Hal yang patut disayangkan adalah ketika agama ditarik ke dalam ranah politik praktis, nuansa agama yang sakral itu perlahan luntur, lalu hilang sama sekali. Bahasa dan aksara agama yang suci kemudian mengalami degradasi menjadi bahasa dan aksara yang agitatif.

Dalam ranah politik praktis, agama kehilangan ruh spiritualitas dan berganti wajah menjadi wajah garang pendamba kekuasaan. Pasca reformasi kita melihat geliat organisasi – organisasi massa Islam bercorak konservatif – radikal. Organisasi macam inilah yang kemudian menjadi eksponen utama atas praktik politisasi Islam.

Islam memang bukan agama yang anti politik. Sejarah mencatat bahwa Islam sebagai agama yang politis. Namun, corak politik yang dimainkan Islam bukanlah corak politik kekuasaan yang menghalalkan segala cara untuk untuk mendapat kekuasaan.

Politik islam adalah politik yang berorientasi pada kemanusiaan dan setia pada nilai – nilai etika.Ulama tentu memiliki peran untuk melenyapkan upaya politisasi di masjid. Peran utama ulama umumnya dapat dirangkum menjadi sebuah kalimat, yakni amar ma’ruf nahi munkar, yang artinya menyeru pada kebaikan dan mencegah pada kemunkaran.

Tentunya untuk menjalankan peran tersebut, para ulama harus melampaui nalar politik partisan. Yakni tidak menjadi agen bagi kepentingan elektoral oposisi, juga corong kepentingan politik penguasa.