Jakarta – Anggota DPR-RI Bambang Haryo Soekartono, selasa (9/4) pagi mendatangi kantor redaksi inilah.com di kawasan kebayoran baru Jaksel.
Bambang Haryo bersama staff Ahli disambut staf redaksi inilah.com, dikantor redaksi inilah, Bambang langsung membuka sejumlah masalah Pemerintah Joko Widodo.
Diruang redaksi, Bambang mengungkapkan bahwa sekitar 25% lahan pertanian di Indonesia telah habis dibabat proyek-proyek infrastruktur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Anggota Komisi V DPR itu menyatakan pembangunan infrastruktur yang asal-asalan itu telah menghilangkan lahan sawah produktif sebagai lumbung pangan.
“Padahal, sawah merupakan instrumen penting dalam mendukung ketahanan pangan nasional,” kata Bambang saat berkunjung ke kantor INILAHCOM, Jakarta, Selasa (9/4/2019).
Berdasarkan data Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), pada 2013 lalu masih terdapat 7,75 juta hektar lahan sawah. Namun, setiap tahun terjadi penyusutan antara 150.000 hingga 200.000 hektar akibat alih fungsi.
Karena itu, politisi asal Partai Gerindra ini menilai pembangunan sejumlah infrastruktur yang gencar dilakukan pemerintah tidak membawa azas manfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia.
“Pembangunan infrastruktur dari uang rakyat dan utang negara, mestinya dikerjakan dengan serius dan tidak asal-asalan,” ujar Bambang yang kini maju sebagai Caleg DPR-RI dapil Jatim 1.
Dia mencontohkan beberapa pembangunan infrastruktur yang tidak membawa manfaat. Misalnya, pembangunan infrastruktur di Papua. Tahun 2013 pertumbuhan ekonomi Papua 14,84%, tapi pada 2017 malah menurun menjadi 4,64%.
Begitu pula pembangunan Bandara Miangas di Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara yang baru saja diresmikan Presiden Jokowi, justru tidak beroperasi.
“Banyak anggaran yang sudah dihabiskan membangun bandara tersebut, tetapi hanya didarati burung-burung,” tuturnya.
Menurut Bambang, pembangunan infrastruktur seharusnya dapat mendorong laju pertumbuhan ekonomi nasional. Tapi pertumbuhan ekonomi selama empat tahun rata-rata hanya 5%.
“Nyatanya pembangunan yang masif tidak menyerap lapangan pekerjaan yang cukup signifikan,” katanya