Rasanya sulit percaya, tetapi nyata. Ada lima sumber dekat saya konfirmasi tadi, semua membenarkan. August Parengkuan telah tiada. Wartawan senior, generasi pertama Harian Kompas itu mengembuskan nafas terakhir Kamis (17/10) pagi pukul 05.50 WIB di RS Medistra, Jakarta. Jenazah mendiang disemayamkan di RSPAD Gatot Soebroto Jakarta, sebelum dimakamkan. Ia wafat akibat serangan jantung, menurut Tri Agung pimpinan Harian Kompas.
Saya menerima kabar duka ini pertama kali dari wartawan senior Marah Sakti Siregar. Saat baru pulang jogging, Marah Sakti mengirim kabar duka itu via WA. Berita itu sekejap membuat saya terhenyak. Jika sampai waktunya tiada siapa pun bisa mengelak.
Masih segar dalam ingatan dua bulan lalu kami bersama-sama selama tiga hari tiga malam di Bali. Menjadi tamu undangan rangkaian acara perkawinan tokoh perfilman nasional, Raam Punjabi. Dia hadir bersama istrinya, Sonya Parengkuan. Waktu ketemu pertama kali dalam salah satu acara siang, dia mendatangi meja tempat kami duduk. Dia secara khusus menyampaikan apresiasi atas “obituari” yang saya tulis mengenai mendiang P. Swantoro, juga mendiang pimpinan Kompas.
“Oo Anda sempat baca yah,” saya tanya. “Iya, obituari itu kan viral di keluarga Kompas,“ ujarnya.
Meski terpaut usia 10 tahun, dan dari media yang berbeda “ideologinya” tetapi dengan August Parengkuan saya bersahabat puluhan tahun.
August lahir di Surabaya, tetapi dia bersekolah di Parepare, Sulawesi Selatan. Dia dibesarkan dalam kultur masyarakat Bugis Makassar. Kedekatan kultur itu juga menjadi perekat persahabatan kami. Kami tertawa terbahak-bahak ketika mengantre di ruang rias acara Bali. Mengantre dipasangi ubel-ubel India.
Di organisasi PWI, August aktif sejak lama. Terakhir sebagai penasihat. Dalam rapat-rapat di PWI itu juga kami sering berdiskusi, bertukar pikiran. Setelah purna tugas sebagai Dubes RI di Italia, kantor yang sering disambangi adalah PWI. Inilah cerita ketika bertandang ke PWI beberapa bulan lalu, yang saya khawatir itulah kunjungan terakhirnya.
Topik diskusi hari itu tentang posisi wartawan dan media yang mengalami kegamangan menghadapi penguasa justru di era kemerdekaan pers. Era yang didambakan puluhan tahun oleh para wartawan senior dan pendahulu kita. August yang selalu berpembawaan tenang, berkata-kata datar tanpa tanda seru, siang itu seperti dengan sadar menggunakan pengucapan bertanda seru. Terasa sangat mendalam rasa kekhawatirannya terhadap pers dan media menghadapi penguasa di era milenial ini.
“Dulu kita diancam-ancam penguasa untuk menuruti dia. Tapi keadaan sekarang, seperti wartawan dan medialah yang menyerahkan dirinya kepada penguasa untuk dikooptasi,” katanya lirih. Tajam.
Putra Mahkota Tanpa Mahkota
August dari dulu memang tajam. Itu sebabnya, pemerintah cq Depertemen Penerangan tidak pernah memberikan rekomendasi untuknya menjabat Pemimpin Redaksi Harian Kompas. Saya sudah jadi pengurus PWI ketika PWI mengeluarkan rekomendasi untuk August Parengkuan jadi Pemimpin Redaksi Kompas atas pengajuan direksi Kompas. Namun, ternyata Departemen Penerangan menolak rekomendasi itu.
Kelak sampai umur pensiun di Harian Kompas, August hanya tercatat sebagai Pelaksana Harian Pemred Kompas. Padahal, dia generasi pertama surat kabar ternama Tanah Air. Dialah sesungguhnya Putra Mahkota Jakob Oetama pendiri dan pemilik Kompas. Saya pernah menulis profil August dengan judul provokatif “Putra Mahkota Tanpa Mahkota“. Dia hanya tersenyum kecut membaca opini saya.
Sayang, reformasi terlambat datang. Dan, August Parengkuan salah satu korban rezim Orde Baru yang otoriter. Bayangkan untuk menjadi pemimpin redaksi saja, masa itu seseorang harus mengantongi rekomendasi dari banyak institusi. Terakhir izin dan restu dari Menteri Penerangan.
Bandingkan di era reformasi sekarang. Di era kemerdekaan pers. Anytime, Anda mau terbitkan media, tidak perlu restu dan izin dari pemerintah, kecuali restu dari pemilik modal saja. Tapi itu tadi, dampak lain dari kemerdekaan pers itulah yang dikritisi oleh August Parengkuan. Kemerdekaan pers sudah di tangan, namun ada banyak wartawan dan media sibuk sendiri menawar-nawarkan agar dikooptasi penguasa.
August Parengkuan memang sosok unik. Di masa Orde Baru dia amat dekat dengan Megawati. Tapi August menjadi Dubes di Italia justru diangkat oleh Presiden SBY, seteru politik Megawati.
Empat tahun August menjadi Dubes di Italia. Tapi selama menunaikam tugas di sana, hanya satu kali saya ketemu dia di Eropa. Itu pun di Expo di Milan, bukan di poskonya di Roma. Padahal, dia mewanti-wanti supaya menengok dia di sana. Dia iming-iming akan menjamu dengan ikan bakar dan gulai kepala ikan kakap, kuliner kesukaannya.
Sebelum menjabat Dubes, August Parengkuan menangani pembangunan hotel milik Kompas. Kami sering ketemu di Singapura ketika membangun hotel di kawasan Bugis Street. Di sinilah kuliner ikan bakar dilanjutkan. August ketemu kedai ikan bakar yang kemudian menjadi langganannya tiap kali ke kota Singa itu.
Tiada lagi August Parengkuan. Tapi semangatnya sebagai jurnalis sejati tak pernah bisa terkubur. Pernyataan kekhawatiranya terhadap nasib wartawan dan media di rapat PWI itulah legacy terbesar dia. Seperti Albert Camus bilang, “manusia tidak pernah bisa dikalahkan, hanya bisa dihancurkan”.
Selamat istirahat, Sobat.
Catatan Ilham Bintang
Tinggalkan Balasan