Oleh : Muhammad Yasin
Penyebaran paham radikal yang berasal dari dalam dan luar negeri masih menjadi ancaman serius bagi negara. Selain mengancam Pancasila sebagai ideologi negara, radikalisme juga mampu menciptakan disintegrasi bangsa. Masyarakat dan Pemerintah perlu untuk bersinergi guna mencegah penyebaran paham anti Pancasila tersebut.
Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan teknologi informasi menjadi media efektif untuk menyebarkan paham radikal maupun konsep khilafah. Kedua paham tersebut bagi beberapa orang telah dijadikan pedoman didalam hidupnya. Padahal, bagi yang tahu ilmu, agama-pun tak akan mengajarkan sesuatu yang menyesatkan.
Beragam polemik terkait paham ini simpang siur beredar. Terlebih semua diperparah oleh berbagai konten maupun berita yang tidak semuanya benar. Alih-alih memposting hal yang positif, para pelaku paham ini seringkali memberikan doktrin ekstrem dan menggurui. Jika tak kuat iman bisa saja langsung terpengaruh bagai dihipnotis.
Sebelumnya, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menerangkan soal empat kriteria seseorang atau kelompok yang telah terpapar radikalisme. Kepala Subdirektorat Pemulihan Korban BNPT Rudi Widodo menyebut keempat kriteria tersebut sesuai dengan yang ada dalam Undang-Undang No 5 Tahun 2018. Yakni, berkenaan tentang Tindak Pidana Terorisme.
Kriteria radikal menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 adalah; pertama anti-Pancasila, anti-kebinekaan, anti-NKRI, beserta anti-Undang-Undang Dasar 45. Rudi memaparkan kenapa kemudian kelompok radikal tersebut lebih memilih ideologi tertentu dibanding Pancasila.
Padahal, menurutnya, Pancasila sebagai dasar negara sudah disepakati oleh seluruh rakyat Indonesia dan juga para pendiri bangsa. Mereka yang anti-Pancasila, ingin mengubah negara Indonesia menjadi negara khilafah sesuai ajaran yang mereka anut.
Kedua, mereka dinilai anti dengan Bhinneka Tunggal Ika yang ada di dalam Indonesia. Seseorang atau kelompok yang terpapar paham radikal tak mau ada banyak perbedaan. Padahal, perbedaan untuk memperkaya pendapat dan masukan. Mereka seolah menganggap perbedaan ini tidak sejalan dengan yang mereka percayai.
Yang ketiga, anti-NKRI. Menurutnya, mereka yang anti-NKRI ingin mendirikan negara kesatuan republik Islam, faktanya Indonesia terdiri dari beragam suku dan agama. Sehingga penerapan negeri khilafah bukanlah hal yang tepat.
Dan yang terakhir adalah anti-undang-undang. Bahwa undang-undang yang sekarang ini ada dibuat oleh manusia, Undang-Undang Dasar harus diganti dengan atau sesuai hukum Alquran.
Rudi menambahkan bahwa ciri orang yang terpapar paham radikal tidak bisa hanya dilihat dari cara berpakaian maupun penampilan.
Sementara itu, Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyatakan bahwa peran aparat hukum amat krusial dalam mencegah paham radikalisme yang beredar di tengah-tengah masyarakat.
Sejalan dengan pernyataan Rudi, Ma’ruf menegaskan bahaya paham radikal bukan pada tentang cara berbusana. Lebih dari itu yang harus diwaspadai ialah perihal pemikiran dan ideologi yang dianut kelompok radikal. Dirinya mengutarakan yang menjadi persoalan belakangan ini, adalah tentang konsep bernegara Khilafah. Baginya sistem khilafah tetap Islami, namun menyalahi kesepakatan nasional.
Bukan ditolak, tetapi bertolak (di Indonesia). Kalau tertolak memang tak bisa masuk. Bukan karena Islami (atau) tak Islami, imbuh Ma’ruf. Terkait konsep khilafah, pihaknya menilai publik perlu diluruskan kembali pemahamannya. Berdasarkan kesepakatan yang dia katakan sebelumnya, konsensus nasional lahirnya Indonesia ialah menginginkan negara ini berdiri dari beraneka suku, agama, ras maupun golongan.
Sama halnya di Arab Saudi, kesepakatan bernegara di sana, menganut sistem kerajaan, sedangkan di Indonesia menganut dengan konsep republik atau yang dengan dikenal Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ma’ruf menuturkan, republik juga Islami selain Indonesia, ada juga Mesir. Di Mesir terdapat ulama-ulama besar Al-Azhar. Pakistan juga Republik Islam, kemudian Turki juga Republik Turki, imbuhnya. Kalau itu menjadi khilafah maka jadinya bukan NKRI lagi, namun NKKHI. Negara Kesatuan Khilafah Indonesia. Maka dari itu Ma’ruf menilai hal tersebut perlu diluruskan pemahamannya. Lebih lanjut dia menyatakan bahwa Islam kita itu adalah Islam kafah.
Tak dipungkiri merubah pemahaman seseorang tak semudah membalikkan telapak tangan. Hal ini karena setiap individu memiliki persepsi dan pemahaman yang berbeda-beda. Namun bukan berarti harus menyerah melawan radikalisme dan penyebaran paham Khilafah. Tapi, kita bisa berupaya dari diri sendiri agar tak terpapar bahaya kedua paham tersebut.
Caranya ialah penanaman atas empat pilar Negara yang meliputi; ideologi Pancasila, Kebhinekaan, UUD 1945 dan juga NKRI. Tak lupa pengayaan akan sikap toleransi antar umat beragama, sehingga akan tetap memperkuat persatuan dan kesatuan, dan menutup segala celah yang bisa mengancam keutuhan NKRI.
Penulis adalah pengamat sosial politik
Tinggalkan Balasan