Oleh : Edi Jatmiko

Radikalisme masih menjadi kekhawatiran yang perlu diantisipasi masyarakat dan Pemerintah. Pasalnya, paham Anti Pancasila tersebut mampu memicu aksi kekerasan bahkan teror, sehingga dapat menimbulkan disintegrasi bangsa.

Permasalahan radikalisme di Indonesia merupakan masalah nasionalisme yang saat ini sudah terkikis. Terdapat 3 tahapan doktrin radikalisme. Hal tersebut dimulai dari Iman, berlanjut ke Hijrah dan puncaknya pada Jihad.
Tahap jihad merupakan tahap terakhir yang membuat seseorang menjadi radikal. Hal itu karena dalam tahapan ini terdapat prinsip untuk memerangi orang kafir, baik melalui perkataan maupun perbuatan.

Prof. Mark Woodward dari Arizona State University mengatakan sebagai sebuah ideologi, radikalisme sangat dimungkinkan tumbuh dimana saja, termasuk agama. Bahkan, di dalam agama yang sama sekalipun sangat mungkin muncul aliran yang berbeda, ada yang mendukung pluralisme dan ada pula yang cenderung radikal.
Sementara itu Deputi V Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jaleswari Pramodhawardani mengakui, persoalan radikalisme di Indonesia sudah mulai meningkat sejak 10 tahun terakhir.

Pihaknya menilai, selama 10 tahun terakhir ini alarm adanya gerakan radikalisme di Indonesia sesungguhnya sudah berbunyi. Termasuk ketika Indonesia sedang melakukan agenda Pemilu serta menurunnya kualitas toleransi di Indonesia.

Pemilu pada tahun lalu sarat dengan adanya politik identitas, bahkan sampai ada sekelompok orang yang mengatakan haram memilih salah satu capres. Hal tersebut sudah pasti salah satu bentuk politisasi agama.
Hasil kajian dari Wahid Institute menunjukkan sekitar 0,4 persen atau sekitar 600.000 Warga Negara Indonesia (WNI) pernah melakukan tindakan radikal.

Data tersebut dihitung berdasarkan jumlah penduduk dewasa yakni sekitar 150 juta jiwa. Karena tidak mungkin balita terlibat dalam gerakan radikal.
Pihaknya juga mengatakan bahwa sikap intoleran di Indonesia cenderung mengalami peningkatan dari sebelumnya, dari 46 % naik menjadi 54 %.

Sementara itu, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Azyumardi Azra memaparkan, paham radikal yang menganggap pemahamannya paling benar juga telah menyusup ke sekolah menengah melalui tenaga pendidik.

Hasil survei dari lembaga kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), yang dipimpin oleh Prof Dr Bambang Pranowo, yang juga merupakan Guru Besar Sosiologi Islam di UIN Jakarta pada 2010 lalu, menunjukkan bahwa hampir 50% pelajar setuju dengan tindakan radikal.

Data tersebut juga menunjukkan 25% siswa dan 21 Guru menyatakan bahwa Pancasila tidak relevan lagi. Sementara 84,8% siswa dan 76,2% guru setuju dengan penerapan syariat Islam di Indonesia.

Hal tersebut tentu tidak dapat dibiarkan, jangan sampai paham radikal masuk ke sekolah sehingga nantinya para lulusan sekolah tersebut akan terus mengakar kepada generasi dibawahnya.

Sudah pasti fakta tersebut menjadi tantangan tersendiri, sehingga Para tenaga pendidik dan jajaran kementerian Pendidikan harus memiliki strategi dalam memberikan pemahaman kepada para siswa bahwa Indonesia adalah bangsa yang memiliki keanekaragaman dan hal tersebut adalah anugerah bagi Indonesia.

Empat Pilar MPR juga seyogyanya disosialisasikan kembali dalam rangka mengingatkan dan menyegarkan kembali komitmen seluruh komponen bangsa. Dengan begitu, pelaksanaan dan penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pada kesempatan berbeda Dosen Politeknik Negeri Manado Hery Wensen dan Kepala Sekolah SD Inpres Pinaras Kecamatan Tomohon Selatan, Sjadrie Pengemanan, mengusulkan agar Pancasila dijadikan mata pelajaran sejak dini hingga perguruan tinggi.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim juga telah menyambut positif wacana terkait Pendidikan Pancasila agar kembali masuk dalam mata pelajaran.
Hal ini tentu patut kita kawal dan kita dukung karena menyangkut karakter generasi penerus terutama masa depan keutuhan bangsa dan negara Indonesia.

Radikalisme itu satu paham yang ingin mengganti dasar dan ideologi negara dengan cara melawan aturan, kemudian merusak cara berpikir generasi baru. Baik orang Islam atau bUkan orang Islam, kalau melakukan aksi teror tentu bisa disebut sebagai radikal.

Dirjen Pendidikan Islam saat ini telah membuat edaran kepada rektor-rektor perguruan tinggi untuk membuat pusat kajian yang bertujuan untuk melakukan upaya moderasi dalam beragama. Iklim keagamaan yang toleran, moderat, damai dan inklusif haruslah dikembangkan terutama untuk memahami keberagaman.

Salah satu hal paling mungkin dilakukan adalah, ajarkan murid, siswa atau anak didik tentang keberagaman dan kebhinekaan, selain itu tanamkan nilai toleransi terhadap sesama warga negara Indonesia.

Penulis adalah pengamat sosial politik