Oleh : Alfisyah Kumalasari
Dari 50 daftar RUU yang masuk Prolegnas, RUU Farmasi menjadi daftar prioritas dan masuk ke dalam Omnibus Law Kefarmasian. Hal ini merupakan sebuah angin segar bagi industri kefarmasian di Indonesia, yang mana regulasinya memang membutuhkan penyederhanaan.
Mangkraknya RUU kefarmasian selama lima tahun dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI, serta belum adanya progres yang berarti menarik perhatian sejumlah pihak.
Menurut daftar Prolegnas DPR RI 2015-2019, pembahasan untuk RUU kefarmasian berada pada urutan 120. Sedangkan urgensi dari adanya Rancangan Undang-undang kefarmasian ini sangatlah krusial. hal ini dilatarbelakangi perlunya perlindungan terhadap profesi kefarmasian itu sendiri.
Beberapa alasan lain yang disebut mendasari perlunya disegerakan RUU kefarmasian ini yakni Pertama, regulasi yang mengatur tentang praktik kefarmasian yaitu, Peraturan Pemerintah nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian dinilai tidak saja harus disesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan perubahan sosial saat ini, melainkan asas hukumnya masih menginduk pada Undang-Undang nomor 23 tahun 1992 terkait Kesehatan, sementara undang-undang dimaksud dinilai sudah tidak berlaku dengan terbitnya Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
Alasan Kedua, implementasi ketentuan tentang praktik kefarmasian belum mampu menjangkau persoalan-persoalan yang terjadi dimasyarakat, misalnya; permasalahan terkait Apoteker yang tidak berada di apotek, kasus penjualan antibiotik secara bebas oleh Apoteker, kasus obat beserta resep palsu yang marak terjadi dan cukup meresahkan.
Berikut hal-hal yang melatarbelakangi pengajuan RUU Kefarmasian ini;
1. Jumlah Apoteker di Tanah Air hingga saat ini telah mencapai sekitar 45.000 dengan tingkat pertumbuhan 10% per tahunnya.
2. Apoteker sebagai tenaga profesi kesehatan mempunyai peran cukup strategis dalam pelayanan kesehatan. Yakni, menjamin ketersediaan obat yang berkualitas, menjamin efektivitas pengelolaannya, serta turut menjamin keamanan serta kemanjuran obat melalui pelayanan kefarmasian yang berfokus kepada pasien.
3. Hingga saat ini praktisi kefarmasian di Indonesia dinilai belum berjalan secara optimal. Peran Apoteker pada umumnya baru sebatas pengelolaan obat, akibatnya keberadaan dan kemanfaatan profesi Apoteker belum dapat dirasakan oleh masyarakat.
4. Masih rendahnya tingkat kesadaran tenaga kefarmasian akan peranan, tugas, dan kewenangannya. Hal ini terlihat dari rendahnya tingkat kehadiran Apoteker di apotek serta banyaknya tugas dan kewenangan Apoteker yang dilimpahkan kepada tenaga teknis kefarmasian.
5. Perlu adanya konsep, strategi dan mekanisme yang mampu mengatur peran pemerintah, organisasi profesi, masyarakat dan juga stakeholder lainnya dalam pengembangan pendidikan Apoteker yang belum dirumuskan secara jelas dan restruktur. Khususnya dalam hal penyediaan fasilitas praktisi kerja profesi belum ada acuan yang sama bagi penyelenggara pendidikan Apoteker di Tanah Air.
6. Masih rendahnya tingkat pengakuan peran Apoteker dalam Sistem Kesehatan Nasional yang mana berakibat pada tidak terlibatnya peran Apoteker dalam mengatasi beragam masalah kesehatan secara nasional.
Kesimpulannya ialah, Belum adanya payung hukum yang mengatur tentang praktik kefarmasian.
Melalui undang-undang terkait profesi kefarmasian akan menjadi payung hukum yang jelas dan kuat mengenai posisi keprofesian Apoteker dimasyarakat maupun berkenaan dengan sanksi-sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan.
Harapan kedepannya bukan hanya sekedar pemberi payung hukum, tetapi juga sebagai pemberi arahan, tata cara, serta pengelolaan yang menjadi dasar bidang farmasi dengan tegas. Selain itu, dapat mendorong bagi Apoteker guna melakukan tugasnya dengan penuh tanggung jawab.
Sementara itu, harapan dari para tenaga kefarmasian untuk memiliki Undang-Undang Kefarmasian nampaknya segera terwujud. Hal ini terlihat setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kefarmasian dan masuk kategori Omnibus Law dalam Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Prioritas 2020. RUU Kefarmasian tersebut termasuk dalam 4 kategori RUU Omnibus Law dari 50 RUU Prolegnas Prioritas tahun 2020.
Sebelumnya, Pemerintah diyakini perlu mendorong industri farmasi agar lebih mandiri dalam hal bahan baku karena sebagian besar masih mengimpor. Selain itu, diperlukan sebuah stimulasi inovasi di sektor industri farmasi serta upaya untuk menekan biaya distribusi.
Menurut ekonom kesehatan dari Universitas Padjadjaran Bandung, Auliya A Suwantika, Kemandirian bahan baku obat, bisa berdampak pada penghematan biaya pengobatan, penghematan devisa, juga dapat berkontribusi bagi perekonomian masyarakat. Di sisi lain, sebagai negara kepulauan, biaya distribusi menjadi sangat tinggi sehingga harga obat menjadi lebih mahal.
Auliya menerangkan, tingkat industri farmasi di Indonesia masih rendah. Meski jumlah industri farmasi lokal di Tanah Air masih banyak, atau hampir 73% dari total industri farmasi yang ada, namun tetap saja tingkat inovasinya masih begitu rendah.
Sejalan dengan hal itu, Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Engko Sosialine Magdalene mengungkapkan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memanfaatkan teknologi digital guna memudahkan pengusaha mendapatkan izin usaha. Diharapkan, hal tersebut akan dapat menciptakan iklim investasi yang memadai untuk mendorong perkembangan industri farmasi di Nusantara.
Selain itu, Engko juga menyebutkan Kemenkes telah mengurangi waktu proses pemberian izin edar alat kesehatan tanpa mengesampingkan sisi keamanan, kualitas, dan kemanfaatan. Kemenkes juga terlibat dalam pembahasan omnibus law bidang kesehatan yang saat ini sedang berproses, imbuh Engko.
Hal tersebut sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas mengenai kesehatan di Istana Negara, yakni meminta agar regulasi yang menghambat investasi di industri farmasi nasional segera disederhanakan.
Lembaga dan tenaga kefarmasian kini boleh tenang, sebab RUU omnibus law kefarmasian sebagai payung hukum segera akan lahir. Hal ini tentunya akan berdampak baik bagi industri kesehatan di Indonesia.
Selain itu, kekhawatiran akan peredaran obat yang tak disertai dengan resep dokter maupun resep palsu dan disalahgunakan sejumlah pihak akan diberlakukan hukuman. Sehingga akan memberi efek jera. Harapan kedepannya, semoga industri farmasi di Nusantara mampu mandiri dan ikut menggenjot perekonomian nasional.
Penulis adalah pengamat sosial politik
Tinggalkan Balasan