Oleh : Raavi Ramadhan
Masyarakat dan aparat keamanan perlu meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi teror di bulan Ramadhan, terutama jelang Idhul Fitri. Pasalnya, para pelaku berkeyakinan bahwa teror yang dilakukan dibulan suci ini merupakan hal yang istimewa karena apabila dalam aksi tersebut mereka mati, mereka akan dianggap mati syahid.
Penyebaran radikalisme masih terus mengancam bangsa Indoensia. Justru di momen Ramadhan seperti ini, para pelaku teror sedang galak-galaknya melakukan aksi. Telah banyak catatan dari tahun-tahun yang lalu terkait aksi teror dibulan Ramadhan.
Aparat keamanan perlu memperketat pengamanan dan meningkatkan kewaspadaan pada gejala terorisme dibulan Ramadhan ini. Ramadhan di 1441 H ini memang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya lantaran adanya pandemi Covid-19. Hal ini membuat para penceramah yang biasanya mendatangi pendengar atau proses pengajian dilakukan secara tatap muka, kini harus berlangsung daring.
Kesempatan inipun dimanfaatkan oleh kaum radikalis untuk menyebarkan paham mereka melalui daring. Maka perlu diwaspadai apabila terdapat ceramah-ceramah yang cenderung memojokkan golongan lain yang tidak sepaham secara berlebihan.
Kelompok radikal itu sebenarnya bukan menyangkut agama, tetapi dilakukan untuk kepentingan politik. Bagi mereka agama hanyalah media, sebab hakikat beragama itu tidaklah demikian. Tidak ada satupun agama di dunia ini yang menghalalkan kekerasan.
Meski tidak dapat dipungkiri bahwa para pelaku teror itu, mereka hanya memahami pembelajaran agama secara tekstual saja tanpa menilik konsep kontekstualnya. Hal ini biasanya disebabkan oleh cara belajar agama mereka secara otodidak. Belajar hukum dan seluk beluk ketentuan agama tanpa guru dan sanad yang jelas. Sehingga pemahaman mereka terhadap agama dangkal. Golongan inilah yang menjadi sasaran empuk para penyebar radikalisme.
Biasanya paham radikal ini banyak memengaruhi anak-anak dan wanita. Banyak pula mereka yang memiliki paham beragama yang kurang menyeluruh atau sempurna sehingga mudah untuk dimasuki doktrin-doktrin radikalisme.
Sebagai manusia modern, seharusnya dapat dipilah dengan gamblang proses jihad seperti apa yang tepat. Maksudnya, alih-alih melakukan pengeboman atau aksi teror bukankan menjadi relawan Covid-19 adalah nyata jihad? Di era seperti ini, sudah tidak ada peperangan, aksi-aksi kekerasan bukanlah jihad, melainkan terorisme yang mengancam keselamatan umat.
Sebagai warga negara Indonesia yang berasaskan Pancasila seharusnya paham betul terkait rasa toleransi terhadap sesama mengingat di Indonesia terdapat lebih dari satu agama. Kesadaran akan sikap saling menghormati dan menjaga kerukunan harus kita pahami. Supaya saat paham-paham radikalisme menyebar, kita sama sekali tidak terpengaruh.
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengajukan permohonan kepada Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) supaya meningkatkan pencegahan akan meluasnya paham radikalisme dan terorisme dikalangan masyarakat.
Upaya pencegahan ini dapat dilakukan dengan memberi edukasi mengenai radikalisme, terorisme, dan intoleransi serta cara untuk mencegah hal tersebut masuk dikehidupan masyarakat.
Bambang juga mengatakan bahwa MPR bersama institusi LSM terkait akan terus melakukan aksi sosialisasi Pancasila kepada seluruh masyarakat Indonesia. Hal ini bertujuan supaya seluruh kalangan masyarakat paham betul mengenai ideologi negara Indonesia.
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigjen Pol Hamli mengatakan bahwa perlu adanya kewaspadaan terhadap aksi terorisme. Seluruh komunitas inteljen waspada karena telah hapal dengan pola para pelaku teror yang sering melakukan aksi teror dibulan Ramadhan.
Perang melawan ideologi terorisme ini, tidak dapat diatasi oleh pemerintah saja. Karena sangat diperlukan keterlibatan masyarakat untuk membasmi paham tersebut. Saat tidak ada lagi masyarakat yang terpengaruh, paham itu kemungkinan perlahan bisa menghilang.
Penulis adalah Mahasiswa Universitas Pakuan Bogor
Tinggalkan Balasan