Oleh : Dodik Prasetyo
Penyebaran radikalisme kini semakin masif dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi, sehingga dapat menyasar generasi muda. Semua pihak pun diharapkan dapat bersinergi dan tidak lengah dalam mengantisipasi penyebaran radikalisme di kalangan milenial tersebut.
Juru Bicara Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Hari Putranto mengatakan, generasi muda cenderung kurang waspada terhadap isi informasi yang menyebar di media sosial.
Ancaman masuknya paham radikalisme yang banyak dipengaruhi pola seperti ISIS, hal ini tentu saja menjadi wake up call untuk mencegah penyebaran radikalisme sejak dini.
Media sosial seperti telegram, facebook hingga twitter, dimanfaatkan oleh kelompok radikalis ataupun teroris untuk menyebarkan ideologinya. Biasanya mereka mengawalinya dengan membuat narasi keresahan terhadap pemerintah.
Anak muda yang sedang memasuki fase pencarian jati diri kemungkinan akan dengan mudah tenggelam dalam narasi yang berujung pada doktrin yang meruntuhkan nilai kebangsaan. Seperti menganggap pancasila itu thagut, mengajak untuk membenci demokrasi dan yang paling parah merekrut mereka untuk berperang dengan alasan jihad.
Faktanya, pola penggunaan media sosial oleh kelompok radikal tidak hanya dilakukan di Indonesia. Maka jangan heran jika kita menemukan anggota ISIS dengan wajah dari berbagai daerah.
Munculnya gerakan radikalisme merupakan suatu reaksi yang dilakukan karena berlakunya kebijakan global Amerika serta negara barat lainnya, terutama keberadaan negara Yahudi yang bernama Israel.
Sebenarnya para kaum dan golongan para terorisme ingin menolak adanya hal tersebut dengan tujuan untuk berjihad di jalan Allah, tetapi cara mereka melakukan jihad merugikan banyak orang yang bukan merupakan sasaran mereka, sehingga hal ini akan sangat merusak berbagai tatanan kehidupan baik di bidang ekonomi, sosial, politik, negara ataupun agama.
Pada tahun 2017, tercatat ISIS telah membuat 60 chanel telegram bahasa Indonesia dan lebih dari 30 forum diskusi berbahasa Indonesia dibuat kelompok ISIS di Indonesia. Jumlah berita atau pesan kekerasan yang didistribusikan dalam sehari berkisar antara 80 sampai 150 pesan.
Jangan heran jika ternyata anak muda yang terpapar konten radikal tersebut terlibat dalam aksi seperti bom bunuh diri, hingga aksi teror melukai pihak kepolisian.
Kaum radikal menggunakan pemahaman absolutisme dalam Islam sehingga dalam bertindak mereka tidak memikirkan hal lain yang sebenarnya juga penting dan mempunyai pengaruh yang kuat dalam Islam seperti pertimbangan budaya dan nilai historistik masyarakat.
Doktrin paling berhahaya dalam paham radikalisme adalah doktrin tentang Istisyhad atau bom bunuh diri. Bom bunuh diri ini dianggap sebagai operasi mati syahid dimana orang yang melakukannya akan mati syahid dan langsung masuk surga dengan dipeluk oleh para bidadari surga.
Padahal bunuh diri jelas bukan surga balasannya melainkan neraka. Bom bunuh diri merupakan adopsi dari paham syiah bathiniyah yang mempunyai arti menebus surga dengan mengorbankan diri dalam sebuah operasi pembunuhan.
Sebelumnya, direktur Wahid Institute Yenny Wahid mengungkapkan hasil survey yang menunjukkan ada sekitar 58 persen anggota Rohis di sekolah-sekolah ingin berjihad ke Suriah. Anak-anak yang disasar dalam survei ini bukanlah anak-anak sembarangan. Tetapi mereka adalah anak-anak yang paling pintar di sekolahnya.
Hal tersebut jelas menjadi alarm bagi semua pihak untuk senantiasa menjaga anak muda dari pengaruh ajakan tentang radikalisme. ‘Tentu saja kita tidak bisa menjudment, tidak semua anak rohis menginginkan untuk berjihad ke Suriah.
Yenny menyampaikan, apabila ada sekolah yang terindikasi menjadi media penyebaran paham radikal, pemerintah harus segera masuk untuk menangkal. Salah satu caranya ialah pendekatan persuasif dan mengedepankan dialog dengan pengurus sekolah.
Ia juga menginginkan agar kurikulum di sekolah harus fokus dalam mengajarkan nilai-nilai kebhinekaan. Selain itu Guru juga harus aktif dalam mengajarkan kecintaan pada tanah air dan penghargaan terhadap kebhinekaan. Sehingga mereka akan memahami pentingnya toleransi sejak dunuh.
Di sisi lain radikalisme juga mengakibatkan penderitaan bagi manusia yang tidak berdosa. Ada yang cacat permanen dan menderita trauma berkepanjangan yang diakibatkan oleh pelaku yang tak bertanggung jawab. Dalam kasus tersebut justru banyak terjadi salah sasaran yang terjadi sehingga menghilangkan banyak nyawa yang bukan merupakan sasaran penyerangan tersebut.
Radikalisme memang tidak bisa dibiarkan, mereka yang pernah terpapar membutuhkan berbulan-bulan untuk terus menjalani deradikalisasi.. Tentu saja pengobatan ini tidak murah.
Penulis adalah kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI)
Tinggalkan Balasan