Oleh : Rahmat Sholeh
Buruh masih saja kukuh berdemo bahkan mengancam akan melakukannya lagi sampai omnibus law batal diresmikan. Aparat segera menentang aksi tersebut. Penyebabnya bukan karena membenci buruh. Namun tindakan mereka jelas melanggar protokol kesehatan dan bisa menularkan Covid-19 yang lebih masif. Masyarakat pun tidak bersimpati pada demonstrasi tersebut yang akan menambah berat beban tenaga kesehatan di Indonesia.
Para pekerja ada yang kecewa terhadap omnibus law. Mereka megancam akan melakukan mogok kerja mulai tanggal 6 hingga 8 oktober 2020. Tak hanya mogok massal, namun kegiatan itu akan diteruskan ke unjuk rasa. Aksi ini langsung dihalau oleh aparat dan mereka mencegat di beberapa titik, agar tidak terjadi penumpukan massa.
Pencegahan oleh Polri ini bukan tanpa alasan. Menurut Komisaris Besar Tjahyono Saputro, Kabag Pelayanan Informasi dan Dokumentasi Biro PID Divisi Humas Polri, demo buruh dilarang karena khawatir akan membentuk klaster corona baru. Karena demo diadakan di masa pandemi, jadi harus sesuai dengan protokol kesehatan.
Surat telegram berisi pelarangan demo buruh dari Kepolisian ditanda tangani oleh Kapolri Idham Azis. Jadi polri melarang aksi unjuk rasa omnibus law karena ada perintah dari beliau. Pekerja jangan marah karena demo dihentikan lalu menganggap bahwa polisi bukan lagi sahabat rakyat.
Jangan menganggap aparat yang melarang demo itu arogan dan tidak pro rakyat kecil. Mereka hanya menjalankan tugasnya. Malah sebenarnya polisi yang menjaga demo juga rawan tertular corona, karena berhadapan dengan ratusan massa yang berdempetan. Namun demi tugas, mereka rela berkorban.
Justru para buruh seharusnya berterima kasih karena diingatkan untuk tidak berjalan berdempetan. Apakah untuk menuntut dibatalkannya suatu UU harus mengorbankan keselamatan sendiri? Dalam demo, mustahil menaati aturan jaga jarak, karena para pengunjuk rasa berjalan beriringan sebagai rasa solidaritas sesama buruh.
Kalaupun mereka demo sambil pakai masker, apakah ada jaminan kalau tidak dilepas? Karena unjuk rasa dilakukan di siang bolong dan kegerahan bisa membuat masker lembab. Melepas masker selama 1 menit saja sudah berbahaya, karena virus covid-19 bisa menular lewat udara yang kotor. Seperti saat situasi demo yang penuh dengan keringat dan bakteri.
Para pendemo apakah bisa menjamin menaati protokol kesehatan yang lain? Misalnya membawa hand sanitizer, mencuci tangan, dan suhu tubuhnya normal. Apakah ada pemimpin demo yang membawa alat scan untuk mengetahui suhu tubuh? Jika jawabannya tidak, maka keselamatan pekerja saat demo sangat mengkhawatirkan.
Jika para pendemo sedang beristirahat dan makan siang, maka corona akan mengintai. Karena masker dilepas dan mereka duduk berdempetan, bercanda sambil menikmati nasi bungkus. Droplet bisa hinggap karena ketiadaan masker. Air minum yang dikonsumsi bergantan dari gelas yang sama juga bisa jadi tempat masuknya droplet.
Oleh karena itu, pelarangan demo buruh harap dilihat dengan bijak. Kita masih ada di masa pandemi, jadi kesehatan tiap orang diutamakan. Jangan hanya berdemo lalu meluapkan kekesalan tapi mengorbankan tubuh dan akhirnya tertular corona. Karena kita juga tak tahu siapa yang sehat dan siapa yang berstatus orang tanpa gejala, saat demo.
Buruh tidak dilarang bersuara . Namun sebelum berangkat demo, pastikan dulu apa tujuannya. Jangan hanya ikut-ikutan unjuk rasa agar ingin terlihat keren dan membela nasib rakyat. Jika tidak setuju dengan omnibus law, sudahkah mereka membaca semua pasalnya? Lalu memahaminya dan menanyakan kepada ahli hukum, agar tidak terjadi salah paham.
Pelarangan demo bukan berarti pemerintah jadi arogan. Namun justru menyelamatkan nyawa para pekerja. Karena demo berpotensi menyebabkan klaster baru. Jika 1 pendemo sakit maka bisa menularkan ke keluarganya dan teman-teman yang berkontak langsung. Kalau sudah begini, pasien corona akan bertambah terus.
Penulis adalah warganet tinggal di Tangerang
Tinggalkan Balasan