Oleh : Raavi Ramadhan
Dalam aksi demonstrasi menolak pengesahan omnibus law yang diselenggarakan oleh para buruh, rupanya tidak sedikit para buruh yang mengalami ketidakstabilan emosi saat aksi turun ke jalan. Akibatnya banyak pihak yang mengabaikan protokol kesehatan sehingga memudahkan seseorang tertular Covid-19.
Dalam sebuah kerumunan populasi yang besar, tentu kita tidak bisa menjamin bahwa seluruh pesertanya tidak ada yang membawa virus. Hal ini diperparah dengan kontak fisik langsung dengan permukaan yang terkontaminasi tak bisa dihindari, entah menyentuh mulut, hidung atau mata sebagai pintu masuk infeksi virus corona.
Rupanya selain tidak adanya jaga jarak selama aksi, ketidakstabilan emosi juga turut serta dalam meningkatkan potensi penularan covid-19. Hal tersebut dibenarkan oleh Pakar Keperawatan Universitas Indonesia (UI) DR.
Agus Setiawan, dirinya mengatakan ketidakstabilan emosi pendemo justru dapat mempengaruhi pada status mental yang berujung pada penurunan imunitas tubuh.
Agus mengatakan, dirinya tidak mempermasalahkan substansi dari aksi tersebut, karena menyampaikan pendapat itu juga penting karena merupakan hak semua orang.
Tapi menyetop penularan covid-19 dan mencegah terbentuknya cluster baru juga menjadi kewajiban kita dan harus menjadi perhatian kita semua. Kasihan tenaga kesehatan yang sudah kelelahan dan banyak yang menjadi korban.
Sementara itu, sebanyak 12 buruh yang bekerja di sebuah pabrik pakaian olahraga di Kabupaten Tangerang terkonfirmasi reaktif Covid-19 usai menjalani tes rapid.
Tes rapid tersebut dilakukan kepada para buruh saat sedang melakukan aksi unjuk rasa di depan pabrik dalam rangka agenda menolak pengesahan UU Cipta Kerja.
Juru Bicara Gugus Tugas Covid-19 Hendra Tarmidzi membenarkan hal tersebut. Dirinya menyebutkan bahwa rapid test tersebut dilakukan secara dadakan.
Pada kesempatan berbeda, Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 mengatakan, saat ini terdapat kelompok masyarakat yang menyampaikan aspirasi secara terbuka, dengan jumlah yang banyak, hal ini tentu menjadi potensi klaster covid-19. Hal ini tentu akan menjadi sesuatu yang kontraproduktif dalam perjuangan Indonesia melawan penyebaran virus corona.
Dirinya menegaskan, dalam perang melawan Covid-19, tidak bisa dilakukan oleh pemerintah dan tenaga kesehatan. Namun, peran serta masyarakat dalam penerapan protokol kesehatan juga menjadi hal yang penting. Dalam kondisi saat ini, jaga jarak mutlak dilakukan.
Aksi demo massif ini dikhawatirkan akan banyak pihak yang menjadi ruang penularan virus corona. Munculnya klaster demonstrasi tentu dapat menjadi risiko besar dalam penyampaian pendapat tanpa mematuhi protokol kesehatan.
Alih-alih menuntut hak, klaster demonstrasi memiliki potensi membuat para buruh tertular Covid-19 yang bisa berakibat fatal.
Perlu kita ketahuhi bahwa dengan menjaga jarak minimal 1 meter, maka hal ini akan mengurangi risiko penularan covid-19 sampai 85%. Sementara itu, memakai masker bedah akan mengurangi risiko penularan sebanyak 70%.
Di Jakarta, telah ditemukan sebanyak 14 orang demonstran dalam unjuk rasa penolakan undang-undang cipta kerja. 14 orang tersebtu berasal dari 1.192 demonstran yang diamankan oleh Polda Metro Jaya.
Wakil Gubernur Jakarta Ahmad Riza Patria mengatakan, 14 orang tersebut terdiri dari pelajar dan mahasiswa. Selanjutnya, pemprov DKI akan melakukan penelusuran (tracing) untuk menindaklanjuti hasil tes yang dilakukan oleh Polda Metro Jaya.
Terkait penanganan 14 orang tersebut, Riza menyebutkan, pihaknya menyerahkan kepada Dinas Kesehatan DKI apakah akan ditempatkan di wisma atlet atau ke lokasi lainnya untuk menjalankan isolasi.
Pihak kepolisian sebelumnya juga telah melakukan rapid test terhadap 1.192 orang yang diamankan saat unjuk rasa tolak omnibus law di Jakarta. Hasilnya, 34 peserta aksi diantaranya menunjukkan hasil reaktif.
Apalagi dengan peningkatan jumlah pasien Covid-19 yang telah terjadi terutama karena Orang Tanpa Gejala (OTG) yang mengabaikan perilaku protokol kesehatan di berbagai daerah.
Apabila ditemukan peserta demonstrasi yang positif Covid-19, tentu saja pelacakan dengan kontak erat (tracing) akan sulit dilakukan. Hal ini karena kebanyakan peserta demonstrasi tidak saling kenal dengan orang yang ada di sekitarnya.
Hal ini menunjukkan bahwa aksi demonstrasi yang mengabaikan protokol kesehatan, sangatlah berpotensi dalam menambah angka kejadian positif covid-19. Sudah 7 bulan Pemerintah dan tenaga medis berperang melawan virus mematikan ini, tentu saja akan menjadi hal yang sia-sia jika masyarakat tetap tidak mematuhi protokol kesehatan selama di luar rumah.
Penulis aktif dalam lingkar Pers dan mahasiswa Cikini
Tinggalkan Balasan