Oleh : Ki Ahmad Subekti

Ketika Tribhuwana Tunggadewi mangkat, usia Hayam Wuruk baru 16 tahun. Dalam usia semuda itu ia harus naik tahta menggantikan ibundanya, di tengah kondisi carut-marut akibat konflik internal sejak Sang Rama Wijaya memproklamirkan negeri Majapahit. Tak sedikit yang pesimis anak muda itu mampu mengatasi konflik internal kerajaan, apalagi membawa negeri yang belum lama diproklamirkan itu ke kejayaan. Alih-alih membawa Majapahit menjadi negara besar, mampu tegak di singgasananya saja Hayam Wuruk diragukan banyak pihak.

Tapi keraguan sebagian besar orang masa itu terjawab. Hayam Wuruk yang masih belia nyatanya mampu merubah Majapahit menjadi negara yang benar-benar disegani. Wilayah-wilayah yang dahulu tidak berada dalam kekuasaan para pendahulunya, satu persatu berhasil ditaklukkan. Ia bahkan mampu memperluas wilayah Majapahit hingga pengaruhnya sampai ke Madagasikara (Madagaskar), Afrika. Sebuah pencapaian yang bahkan belum pernah berhasil dicapai oleh kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara sebelumnya !

Kegemilangan Hayam Wuruk yang diabadikan dalam sejarah itu menjadi bukti shahih bahwa kepemimpinan itu tidak ditentukan usia. Hayam Wuruk juga membuktikan bahwa usia muda justru menjadi modal besar bagi seorang pemimpin untuk membangun dan memajukan negerinya. Ambisi dan semangat serta idealisme yang relatif masih besar dan segar yang dipunyai orang muda tentu menjadi faktor penting dan menentukan untuk kemajuan sebuah negeri.

Lebih jauh lagi, dalam skala global, DNA pendobrak dari kaum muda ternyata juga sudah menjadi terobosan dalam struktur pemerintahan. Belum lama ini, bagaimana seorang pemuda berusia 27 tahun menjadi Menteri Urusan Luar Negeri Austria yang bernama Sebastian Kurz, dan saat ini telah memegang tampuk kepala pemerintahan termuda, saat ia baru menginjak usia 31 tahun.

Tidak kalah fenomenalnya, seorang perempuan bernama Shamma Al Mazrui dari negara federasi Uni Emirat Arab mengemban amanat pejabat Menteri Pemuda pada usia 22 tahun! Masih ada beberapa tokoh pemerintahan negara lain yang juga tak kalah terbukanya terhadap generasi muda yang dahulu pernah dipercaya memegang posisi strategis. Misalnya, Yuko Obuchi (34 tahun) dari Jepang dan Kristina Schroader (33 tahun) dari Jerman. Dan, belakangan Presiden Prancis, Macron (39 tahun).

Jika telah demikiannya banyaknya estafet kepemimpinan bergulir kepada kaum muda, mengapa kita sepertinya enggan memberikan kesempatan? Begitu tidak profesional dan tidak pantaskah kaum muda dalam memajukan bangsa? Ataukah, generasi senior kita terlalu takut kehilangan pengaruhnya?
Melihat permasalahan bangsa kita yang kian kompleks dan menantang, sudah saatnya pemerintah berkolaborasi dan memberikan kesempatan bagi generasi muda untuk duduk sebagai policy maker. Langkah strategis tersebut dengan membuka sebuah kesempatan jabatan menteri yang dipercayakan kepada generasi muda. Paling tidak pemerintah memberikan jabatan strategis di struktur pemerintahan agar lebih memahami psikologi kaum muda yang kini sangat berbeda akibat gelombang inovasi teknologi. Cara berpikir dan budayanya tentu memiliki tantangan tersendiri. Dibutuhkan figur dengan profil yang hidup di era yang sama, sehingga nantinya pemecahan dan pengelolaan permasalahan lebih selaras dan efektif.

Apalagi, sejarah telah membuktikan kaum muda memiliki peran krusial dan hal tersebut kini juga telah banyak diterapkan di negara lain. Karena itu tren naiknya anak-anak muda sebagai pemimpin di pemerintahan tentu bukan sesuatu yang perlu dicemaskan. Sebaliknya, tampilnya anak-anak muda itu justru memberi harapan perubahan yang lebih baik dalam tata kelola pemerintahan dan masyarakat.
Kita cukup beruntung saat ini memiliki anak-anak muda yang berani yang berani tampil mengambil peran kepemimpinan. Di Solo Gibran Rakabuning Raka menjadi sosok fenomenal, terlepas dari pengaruh ayahnya yang Presiden. Dan di Tuban sendiri, sosok Aditya Halindra Faridzki menjadi juga berhasil tampil sebagai pemenang dalam Pilkada 9 Desember lalu, mengungguli dua rivalnya yang jauh lebih lama bergelut di politik dan pemerintahan.

Sama dengan Hayam Wuruk yang sempat diragukan banyak pihak, Halindra terbukti mampu menjawabnya dengan perolehan suara yang nyaris mutlak. Apakah kelak anak muda putra mantan Bupati Tuban Dra Hj Haeny Relawati ini juga bisa diharapkan seperti Hayam Wuruk ? Semoga saja. Anak muda ini memang memilki kesamaan dengan Hayam Wuruk. Keduanya sama-sama masih sangat muda dan lajang ketika memegang tampuk kepemimpinan. Keduanya juga mewarisi kekuasaan dari ibunya.

Hayam Wuruk memang tak bisa dilepaskan dari seorang tokoh Mahapatih Gajah Mada. Konon tokoh ini yang membuat tahta Hayam Wuruk kokoh dan bendera Majapahit bisa berkibar gagah hingga ke Afrika. Tetapi yang perlu diingat, sehebat apapun Gajah Mada tanpa seorang pimpinan tertinggi yang cakap, dia juga tak akan bisa berbuat lebih banyak.

Demikian kiranya dengan Pemerintahan Kabupaten Tuban ke depan. Riyadi sebagai pendamping Halindra dituntut untuk bisa memainkan perannya sebagai Mahapatih Gajah Mada, sehingga Kabupaten warisan Eyang Rakryan Rangga Lawe ini bisa kembali jaya seperti pada masa lalu.