Oleh : Alfred Jigibalom

Kekejaman Kelompok Separatis Papua (KSP) yang membakar menyerang sekolah dan menembak 2 orang guru, hingga Kabinda Papua mendapat kecaman dari para tokoh masyarakat di Papua.

Mereka tidak setuju dengan kekejian KSP karena sudah melanggar hukum dan menyakiti saudara sesukunya sendiri. Memang organisasi ini harus diberantas secepatnya, agar masyarakat merasa aman dan damai di Papua.

Papua kembali gonjang-ganjing karena KSP beraksi kembali. Setelah membakar 3 gedung sekolah, kelompok yang berada di bawah kendali OPM ini tiba-tiba menembak seorang pelajar, juga guru di Kabupaten Puncak. Tak hanya seorang, tetapi langsung 2 orang. Peristiwa-peristiwa ini tentu membuat masyarakat geram, karena KKB bertindak ngawur dan menembak orang yang tidak bersalah.

Aksi keji KSP kembali berulang dengan menembak Kabinda Papua Brigjen I Gusti Putu Danny pada 25 April 2021 yang kemudian gugur sebagai kusuma bangsa. Dua hari setelahnya, Personel Polri atas nama Bharatu Komang juga gugur akibat serangan KKB.

Ondofolo (ketua adat) Sentani Yanto Eluay menyatakan bahwa kekejian KKB telah melanggar norma adat yang ada di Papua dan telah mencoreng wajah adat. Dalam artian, sebagai warga sipil di Bumi Cendrawasih, mereka seharusnya taat terhadap hukum adat (di samping hukum negara), tetapi terang-terangan melanggarnya.

Yanto Eluay menambahkan, KKB harus menghentikan aksinya sesegera mungkin. Dalam artian, sebagai tokoh masyarakat Papua ia ingin agar kedamaian tercipta di Bumi Cendrawasih.

Ketika KKB masih berkeliaran, maka akan meresahkan masyarakat dan membuat mereka takut untuk beraktivitas di luar rumah.
Ulah KKB memang semakin menggila dengan menembaki para guru hingga aparat keamanan.

Padahal guru bagai pelita di kegelapan. Jika para guru dibunuh, bagaimana dengan masa depan anak-anak Papua? Mereka terancam tidak bisa menuntut ilmu dari sang guru, menyedihkan. Kali ini KKB bertindak di luar batas kemanusiaan sehingga membuat banyak orang tersulut amarahnya.

Selain itu, KKB sepertinya lebih suka berkungkung dalam kegelapan dan kebodohan dengan membakar sekolah. Sehingga menampakkan bahwa mereka anti kecerdasan dan kemajuan. Ini menunjukkan kualitas mereka dan menampakkan bahwa kelompok ini lebih suka disebut terbelakang. Padahal orang yang tidak cerdas cenderung lebih mudah dikibuli oleh orang lain yang licik.

Tokoh agama di Bumi Cendrawasih juga mengecam kekejaman KKB. Pastor John Bunay, Koordinator Jaringan Damai Papua menyatakan bahwa aksi penembakan merupakan tragedi kemanusiaan yang memilukan hati. Dalam artian, tingkah KKB sudah melanggar norma kemanusiaan dan menyakiti banyak orang.

Ketika tokoh adat dan tokoh agama di Papua mengecam kekejian KKB, menunjukkan suara hati masyarakat di Bumi Cendrawasih. Pertama, mereka tidak suka dipaksa untuk bergabung ke gerakan Papua merdeka atau membentuk Republik Federal Papua Barat. Karena lebih cinta pada NKRI.

Kedua, KKB melanggar norma dan hukum adat serta negara dengan menghilangkan nyawa orang lain tanpa sebab yang jelas. Para korban tidak bersalah apa-apa tetapi harus menanggung resiko besar dan meninggal dunia. Pembunuhan tentu sebuah tindakan kriminal dan mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di penjara, bukannya lari begitu saja seperti pengecut.

Ketiga, KKB memperlihatkan sikap sok jagoan dengan menembak masyarakat sipil. Untuk apa mereka pamer keahlian menembak ketika ujung-ujungnya terancam pasal pembunuhan? Apa mereka sudah gila dengan melempar pelor tanpa sebab yang jelas?

Oleh karena itu, KKB memang harus diberantas sampai ke akarnya. Anggota TNI berusaha keras mengejar sisa kader KKB yang secara licik bersembunyi di hutan belantara dan pegunungan, yang kondisi alamnya agak susah untuk didatangi. Masyarakat mendukung penuh TNI agar kedamaian di Papua tercipta.

Pemberantasan KKB menjadi fokus TNI untuk membuat Papua aman dan bebas dari teror. Mereka sudah berkali-kali menyakiti hati masyarakat dan mengancam keamanan warga sipil. Ketika KKB ditumpas, tentu disetujui oleh banyak orang. Karena banyak yang sebenarnya tidak setuju dengan papua merdeka dan tingkah kelompok kriminal bersenjata.

Penulis adalah mahasiswa Papua tinggal di Bali