Tabanan – Menarik terkait aset adat milik Pura Dalem Desa Pakraman Kelecung, tepatnya di Desa Tegal Mengkeb Kecamatan Selemadeg Timur yang belakangan dipermasalahkan pihak lain. Meski aset adat ini sudah bersertifikat dan ‘dipasupati’ ironisnya tetap saja dikasuskan. Bahkan Prebekel Tegal Mengkeb, Bandesa Adat Kelecung dan Penyanding (warga atau krama) diseret-seret diadukan ke ranah hukum.
Mengetahui hal ini lantaran menyangkut aset adat, pihak Majelis Desa Adat (MDA) Kecamatan Selemadeg Timur angkat bicara. Menyayangkan persoalan ini tidak diselesaikan di tingkat desa adat saja.
“Semestinya menurut tiyang (saya), pihak pengadu harusnya secara intens mengadakan pertemuan dengan pihak desa adat. Kalau sudah dibawa ke proses hukum pasti sudah ada pihak yang kalah dan menang. Tapi kalau diselesaikan secara kekeluargaan, disinilah akan terwujud ‘paras paros’ itu, dan ‘menyame beraya’ sesuai dengan dasar-dasar agama, adat istiadat ‘deresta’ Bali,” terang I Gede Budi Yadnya selaku Bandesa Alit MDA Kecamatan Selemadeg Timur, Senin (31/05/2021)
Bandesa Alit Kecamatan Selemadeg Timur menjelaskan, setelah mengetahui kronologis permasalahan terjadi bahwa apa dilakukan desa adat dari awal sampai terbit sertifikat dikatakan sudah sesuai dengan prosedur.
“Setelah tiyang (saya) menyimak kronologis dari permasalahan tersebut ada beberapa hal yang dapat tiyang sampaikan. Bahwa apa yang dilakukan desa adat dari awal sampai terbitnya SHM (Sertifikat Hak Milik) itu menurut tiyang sudah sesuai prosedur (terlepas dari benar atau salah). Artinya sudah sampai penerbitan SHM dari pihak BPN (Badan Pertanahan Nasional),” terang I Gede Budi Yadnya.
Menjadi pertanyaan Bandesa Alit adalah kenapa baru sekarang dipermasalahkan setelah terbit sertifikat. “Pihak pengadu baru mempermasalahkan setelah terbitnya SHM. Seolah-olah desa adat mengklaim tanahnya. Dan akhirnya mengadukan desa adat ke polisi bahwa dalam proses pelaksanaan SHM itu seolah-olah ada pemalsuan. Kenapa setelah SHM itu jadi, baru dipermasalahkan,” singgungnya.
Ditanyakan terkait langkah apa diambil pihak MDA Kecamatan Selemadeg Timur lantaran sudah diadukan ke ranah hukum, pihaknya mengaku akan mendiskusikan permasalahan ini dengan pihak MDA tingkat Kabupaten.
“Maaf karena ini sudah proses ditingkat pengaduan, titiyang di tingkat MDA Kecamatan hanya dapat dan terbatas untuk
memberikan masukan saja. Untuk keputusannya ada di tingkat MDA Provinsi Bali. Apalagi sudah sampai ke tingkat pengaduan ke polisi (hukum positif) tiyang diskusikan dulu dengan MDA Kabupaten,” terangnya.
Dihubungi terpisah Patengen Agung MDA Provinsi Bali I Gede Arya Sena menyarankan, agar pihak Bandesa Adat Desa Pakraman Kelecung mengajukan surat permohonan pendampingan ke MDA Provinsi Bali. “Buat surat permohonan meminta pendampingan dari Bandesa Adat ke MDA Provinsi Bali (Bandesa Agung) lampirkan kronologis itu,” sarannya.
Pihaknya berharap Bandesa Adat setiap ada pertemuan atau pemanggilan terkait kasus ini, apa pun bentuknya agar tidak seorang diri. Mengingat Bandesa Adat dikatakan bukan sebagai oknum melainkan melaksanakan swadarma dan swadikara krama adat.
“Biasakan jika menghadiri pertemuan apapun bentuknya, Bandesa Adat tidak boleh seorang diri. Wajib bersama prajuru lengkap desa adat oleh karena Bandesa bukan oknum dalam perkara ini melainkan melaksanakan swadarma dan swadikara krama adat sesuai mandat paparuman desa atau krama,” tegasnya.
Patengen Agung I Gede Arya Sena kembali menekankan bahwa persoalan ini masih pengaduan masyarakat bukan pelaporan pidana. Sehingga, jika panggilan kepada Bandesa Adat maka wajib diajak semua Prajuru atas nama krama desa adat “Bilamana perlu seluruh krama hadir ke Polisi,” imbuhnya.
Perlu diketahui dalam berita sebelumnya pihak mempermasalahkan tanah adat ini mengadukan Perbekel, Bandesa Adat dan Penyanding (warga) ke polisi. Atas dalil (pihak diadukan) memberikan keterangan palsu dalam berita acara penerbitan sertifikat terkait tanah adat sebelumnya pada tahun 2017. Dan dikabarkan sudah berapa kali mereka (teradu) dipanggil penyidik guna dimintai keterangan. Warga geram, tanah secara turun temurun dikuasai adat dikelola sebagai lahan parkir dan tempat melasti ini disebut-sebut mulai diklaim semenjak ditembuskan jalan dari timur.
Salah satu kuasa hukum Desa Adat Pakraman Kelecung I GN. Putu Alit Putra, S.H,. ditemui awak media sangat menyayangkan munculnya permasalahan ini dan pihaknya mengaku akan mendampingi terus warga Desa Adat. Begitu juga menghormati upaya dilakukan pihak yang mempersalahkan.
“Kami menghormati upaya hukum dilakukan pihak mempermasalahkan. Begitu juga kami menghargai tugas kepolisian. Rencananya penyidik kepolisian Polres Tabanan tanggal 29 ini turun ke lapangan. Saya sayangkan ada pengaduan secara pidana tentang pemalsuan dan tidak elok. Hendaknya sebelum menempuh jalur formal ada baiknya dulu datang ke Desa Adat dan bicara sama krama”
“Jika mereka (pihak yang mempermasalahkan) yakin itu tanah mereka mestinya pakai pidana penyerobotan tanah bukan pemalsuan dengan mempersoalkan penyanding. Jika penyandingnya ternyata salah orang atau kurang orang ya cari yang benar, mal administrasi saja, ga elok jika mempersoalkan batas malah mengincar tanah milik desa adat. Dan lokasi tanah juga di Desa Adat Kelecung,” terang I GN Putu Alit Putra, S.H., di kantor hukum B.A.R Law, Advocates & Legal Consultant di Jalan Bay Pass Tanah Lot Tabanan, Kamis 27 Mei 2021.
Sebagai pengacara bersama pensiunan BPN (Badan Pertanahan Nasional) yang kini menjadi Advokat I Wayan Sutita, S.H,. akrab disapa Wayan Dobrak dan rekan lainnya IB Putu Raka Palguna, S.H,. melihat munculnya permasalahan ini diduga sarat dengan kepentingan. Pihaknya pun hadir mendampingi warga krama adat memberi support mental dan moral. Mengingat mereka ini (Bendesa Adat dan warga Penyanding) adalah petani ketika diadukan ke polisi merasa tidak nyaman bersentuhan hukum
“Sebelum lahan milik desa adat ini ada akses jalan dan ditata tidak ada masalah. Ketika memiliki kemanfaatan sebagai akomodasi wisata terletak di pinggir pantai baru muncul klaim dari pihak lain. Sertifikatnya terbit tahun 2017 dan belakangan dipermasalahkan tahun 2020. Ini kan janggal, apalagi tanah adat. Dimana wibawa desa adat nanti,” ungkap Wayan Sutita alias Wayan Dobrak.
Dijelaskan pengacara Wayan Dobrak bagaimana mungkin dengan dasar luasan IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah) yang menjadi PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) setelah diukur resmi BPN dan terbit sertifikat baru menyatakan luasan kurang. Apalagi penerbitan sertifikat milik desa adat ini bersamaan dengan tanah yang mengklaim dalam periode PTSL (Pendftaran Tanah Sistematis Lengkap). “Pada saat pengukuran dan berita acara berarti kan sudah ada persetujuan, sehingga terbitlah sertifikat,” jelas Wayan Dobrak
Dikonfirmasi wartawan secara terpisah, Kapolres Tabanan AKBP Mariochristy P.S Siregar S.I.K., M.H. membenarkan adanya pengaduaan dari warga terkait aset milik Pura Dalem Desa Pakraman Kelecung. (Tim)
Tinggalkan Balasan