Jakarta – Anggota DPR-RI Dapil Maluku Utara Achmad Hatari mendadak menjadi sorotan. Ini, setelah ketua DPW Partai Nasdem Malut itu melabrak kader sendiri Nurlaela Syarif Anggota DPRD Kota Ternate di salah satu group Whatsapp.

Sebagaimana pesan whatsapp yang tersebar, Hatari menyebut kadernya sendiri tidak layak menjadi kader Partai, bahkan Hatari menyebut telah mengantongi bukti-bukti dari Sekda Kota Ternate. Meski demikian, Sekda kota kepada media lokal tak akui punya hubungan.

Terbaru, soal Harta Kekayaan, rupanya Achmad Hatari belum melaporkan LHKPN periode 2019 hingga 2021. Laporan LHKPN Achmad Hatari hanya tersedia pada 2015 dan 2018.

Ditahun 2015, Harta Kekayaan Achmad Hatari sebesar Rp8.877.295.206 sebagaimana yang dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 23 April 2015 dan di laporkan kembali pada 2018, Harta Kekayaan Hatari Naik menjadi Rp12.803.382.957.

Dalam laporan itu, Hatari memiliki Alat transportasi berupa mobil merek Toyota Hardtop tahun 1982 yang berasal dari warisan perolehan tahun 1985. Kemudian Mobil Mitsubishi Chalenger tahun 1996 yang berasal dari hasil sendiri perolehan tahun 2002, lalu Mobil merek Audi Q7 tahun pembuatan 2008 yang berasal dari hasil sendiri.

Selain itu, Hatari juga memiliki Logam Mulia, Batu Mulia dan barang Antik, hingga Giro setara Kas lainnya berjumlah Rp1.488.204.243 pada 19 Agustus 2003 dan naik menjadi Rp8,202,245.206 pada 23 April 2015.

Baca Juga : Mengejutkan, Ketua DPW Partai Nasdem Malut “Achmad Hatari” Labrak Perempuan Kadernya Sendiri

Dalam laman resmi LHKPN KPK yang diakses, Senin (16/8), Hatari tercatat sejak menduduki kursi Anggota DPR-RI baru melaporkan sebanyak dua kali. Pada periode 2019 – 2021 Hatari belum melakukan pelaporan.

Sebelumnya, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana mempertanyakan integritas anggota DPR yang tidak patuh menyampaikan LHKPN ke KPK. Menurut dia, fakta ini menunjukkan bahwa banyak anggota DPR yang tidak memiliki integritas.

“Karena kan mengukur nilai integritas pejabat publik itu salah satu indikatornya dengan membuka web KPK dan melihat kepatuhan LHKPN,” kata Kurnia.

Menurut Kurnia, salah satu faktor yang menyebabkan penyelenggara negara malas melaporkan harta kekayaannya adalah lantaran tidak adanya sanksi pidana yang diterima. Para penyelenggara negara yang tidak patuh LHKPN hanya akan mendapatan sanksi administratif.

Kurnia juga menilai, bahwa bentuk sanksi administratif yang diterapkan selama ini tidak jelas bentuknya, begitu juga evaluasinya. Karena itu, dia berharap penentu kebijakan memikirkan ulang strateginya agar semua penyelenggara negara bisa patuh melaporkan harta kekayaannya.

“Mungkin dapat dengan mencantumkan hukuman yang lebih jelas ketika ada penyelenggara negara yang tak patuh LHKPN. Mungkin pidana denda yang tinggi, bisa ratusan juta dikenakan kepada yang tak patuh LHKPN,” ujarnya.