KEMPALAN-BANTEN-Dakwaan Korupsi Hibah untuk Ponpes (pondok pesantren) dari Pemprov Banten bernilai ratusan miliar pada APBD 2008 dan 2020 mulai digelar di Pengadilan Tipikor Serang, Banten, Rabu (8/9/2021).
Lima terdakwa ikut hadir, yaitu:
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
1. Irvan Santoso eks Kabiro Kesra Pemprov Banten.
2. Toton Suriawinata Kabag Sosial dan Agama di Biro Kesra.
3. Epieh Saepudin Pimpinan Pondok Pesantren di Pandeglang.
4. Tb Asep Subhi Pimpinan Ponpes Darul Hikam Pandeglang
5. Agus Gunawan selaku honorer di Biro Kesra.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Yusuf Putra dalam dakwaan menyebut, hibah Ponpes dari Pemprov Banten jadi bancakan oknum pimpinan Ponpes hingga tidak ada pertanggungjawaban dari Forum Silaturahmi Pondok Pesantren (FSPP) sebagai penerima dan penyalur.
“Kerugiannya negara mencapai Rp 70,7 miliar dari hibah APBD Banten tahun 2018 Rp 66 miliar dan 2020 Rp 117 miliar,” sebut JPU Yusuf, seperti dikutip detik.
Korupsi Hibah Ponpes yang melibatkan banyak pihak itu disebut istilah ‘belah semangka’.
Istilah ini muncul saat terdakwa Epieh Saepudin selaku Pimpinan Ponpes Darul Hikam memotong bantuan untuk pesantren lain.
JPU M Yusuf menyebut, hibah tahun 2020, terdakwa Epieh bersama Apipi menghubungi delapan pondok pesantren penerima hibah.
Epieh menyampaikan kedelapan ponpes itu jika hibah ingin cair, maka mereka harus bersedia membagi separuh bantuannya atau ‘belah semangka’.
“Terdakwa menyampaikan dana hibah dapat cair asalkan bersedia ‘belah semangka’ dengan memberikan separuh dana hibah uang masing-masing sebesar Rp 15 juta,” terang JPU Yusuf di Pengadilan Tipikor Serang, Rabu.
Dari hasil berbagai keterangan terdakwa dikatehui, celah korupsi Hibah Ponpes Banten itu diketahui bahwa terdakwa Irvan dan Toton tidak melakukan tahapan evaluasi, verifikasi persyaratan administrasi, survei hingga kelayakan besaran uang hibah Pemprov Banten pada 2018.
“Terdakwa tidak cermat terhadap pengajuan pencairan dana hibah. Dokumen proposal pengajuan hibah, naskah perjanjian hibah daerah NPHD dan pakta integritas serta dokumen proposal pencairan dan laporan pertanggung jawaban hibah dibuat dan ditandatangani oleh pihak selain pimpinan Ponpes sebagaimana persyaratan dalam pencairan dana bantuan hibah ponpes,” tambah JPU M Yusuf.
Sekedar diketahui, korupsi hibah di lingkungan pesantren ini sempat membuat geger tanah jawara yang sering disebut-sebut daerah agamis religius.
Hibah Ponpes dari Pemprov Banten pada APBD 2018 nilainya mencapai Rp 66 miliar lebih. Pada APBD 2020 mencapai Rp 117 miliar.
Dalam bacaan JPU diketahui, negara dirugikan Rp 70,7 miliar untuk Hibah Ponpes pada dua tahun anggaran APBD Pemprov Banten.
Ada beberapa kesalahan yang dilakukan penyedia, penyalur dan penerima hibah ponpes hingga negara dirugikan puluhan miliar.
Pertama, Tak ada SPJ Hibah Ponpes dari FSPP. Ormas ini sebagai penerima hibah sekaligus penyalur yang diamanatkan oleh Pemprov Banten.
Itu diketahui saat Sekjen FSPP bernama Ali Mustofa mengajukan proposal hibah kepada Gubernur Banten digunakan untuk operasional FSPP Rp 3,8 miliar dan 62 Miliar untuk dibagikan ke 3.122 pesantren.
“Penggunaan dana hibah berupa uang ke rekening FSPP Rp 3,8 miliar dalam pelaksanaannya tidak sesuai peruntukan dan tidak ada bukti pengeluaran yang lengkap dan sah sesuai perundang-undangan,” kata JPU Yusuf.
Kedua, FSPP menabrak aturan karena tidak bisa memberi rekomendasi hibah ke Ponpes. FSPP sebatas ormas, bukan pondok pesantren yang berhak menerima hibah Ponpes.
Ketiga, semua usulan FSPP tak diteliti secara cermat oleh Toton Suriawinata sebagai Kabag Sosial dan Agama di Biro Kesra. Dia langsung menyetujui sesuai nilai usulan FSPP.
Keempat, yang menyeret dua terdakwa Irvan Santoso sebagai Kabiro Kesra Pemprov dan Ketua FSPP KH Matin Djawahir karena keduanya menandatangani NPHD atau naskah perjanjian hibah Ponpes pada Mei 2018. (ham)