Bukittinggi, – Kepala SMKN 2 Bukittinggi Meri Desna diduga melanggar Peraturan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dalam pengelolaan Edotel, pendapatannya tidak disetorkan ke Kas Daerah.

Peraturan Mendagri Nomor 19 Tahun 2019 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah, pada Pasal 130 ayat (1) menyatakan bahwa hasil sewa barang milik daerah merupakan penerimaan daerah dan seluruhnya wajib disetorkan ke rekening Kas Umum Daerah.

Kemudian Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, pada  Pasal 24 Ayat (1) menyatakan bahwa semua Penerimaan Daerah dan Pengeluaran Daerah dalam bentuk uang dianggarkan dalam APBD.

Pengelolaan Edotel SMKN 2 Bukittinggi hanya ditetapkan oleh Keputusan Kepala SMKN 2 Bukittinggi Nomor 800/336/SMKN.2/2020 tanggal 2 Juli 2020 sekolah, dan belum ditetapkan menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).

Baca juga : SMKN 2 Bukittinggi Kelola Anggaran Edotel Diduga Tanpa Dasar Hukum

Kepala SMKN 2 Bukittinggi Akui Tidak Setorkan Pendapatan Edotel ke Kas Daerah

Pembangunan Edotel SMKN 2 Bukittinggi berasal dari APBD Pemko Bukittinggi dan pemerintah pusat. Selama tahun 2011 sampai dengan 2016, pendapatan dari Edotel selalu disetor ke Kas Daerah Pemko Bukittinggi.

Seiring dengan berpindahnya kewenangan bidang pendidikan SMK dari pemerintah kabupaten/kota ke Pemerintah Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2017, pengelolaan SMKN 2 Bukittinggi termasuk Edotel SMKN 2 Bukittinggi pun berpindah yang semula berada di bawah Dinas Pendidikan Kota Bukittinggi, berpindah ke Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat.

Sementara pada tahun 2020 SMKN 2 Bukittinggi memperoleh pendapatan dari pengelolaan Edotel sebesar Rp40 juta lebih, dan penggunaan langsung dana dari hasil pengelolaan sebesar Rp78 juta lebih, serta terdapat saldo Kas Edotel per 31 Desember 2020 adalah sebesar Rp237 juta lebih.

Kondisi tersebut membuka peluang terjadinya korupsi atas hasil pemanfaatan barang milik daerah Edotel SMKN 2 Bukittinggi yang tidak disetorkan ke Kas Daerah.

Untuk diketahui terkait tindak pidana penyalahgunaan wewenang jabatan telah diatur dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, secara tegas menyatakan “setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp. 50.000.000, dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,”.

(Darlin)