Oleh : Zakaria

Masyarakat mendukung penuh pemerintah dalam membendung penyebaran paham radikal. Selain mengancam Pancasila, Radikalisme rentan memicu konflik yang dapat menghancurkan keutuhan bangsa.
Di Indonesia, Radikalisme dapat ditelusuri melalui pendekatan secara historis. Radikalisme yang dicirikan melalui adanya gerakan radikal yang telah muncul sejak kemerdekaan Indonesia. Umumnya gerakan radikal yang eksis pada awal kemerdekaan adalah gerakan radikal berbasis agama. Gerakan yang dimaksud adalah Darul Islam/Tentara Islam Indonesia atau yang lazim disingkat sebagai DI/TII, serta Negara Islam Indonesia atau NII yang muncul pada dekade 1950-an.
Munculnya gerakan radikal berbasis paham keagamaan tersebut dimotivasi oleh visi untuk menjadikan syariat Islam sebagai dasar negara Indonesia. Meski hal ini dilakukan oleh sekelompok Muslim, tentu saja hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk menjadikan Islam sebagai biang radikalisme.
Gerakan radikal tidak hanya eksis di Indonesia saja, tetapi juga di negara-negara lain. Sebagian besar gerakan radikal muncul sebagai respons terhadap hegemoni Amerika Serikat. Sejauh ini, kita mengenal ada dua kekuatan radikal terbesar yang berhadapan dengan Amerika Serikat dan sekutunya, yakni Al-Qaeda yang didirikan oleh Osama bin Laden, serta ISIS yang didirikan oleh Abu Bakar Al-Baghdadi dengan pusatnya di Irak dan Suriah.
Yang patut dicermati dari eksistensi kedua gerakan radikal tersebut adalah mereka tidak berdiri sendiri, melainkan bersifat transnasional. Masih lekat dalam ingatan kita bagaimana ISIS pada awal pembentukannya menyerukan kepada Jihadis di seluruh dunia untuk datang dan berjuang bersama-sama ISIS di Irak dan Suriah.
Salah satu isu krusial yang dihadapi oleh Indonesia pada awal tahun 2020 terkait radikalisme adalah rencana kepulangan eks-WNI anggota ISIS ke Indonesia. Data dari Palang Merah Internasional dan CIA menyebutkan, terdapat 689 WNI yang berstatus sebagai Foreign Terrorist Fighter (FTF). Sedangkan sekitar 1.800 orang lainnya belum teridentifikasi.
Menyikapi hal tersebut, pemerintah mengambil penanganan radikalise yang membutuhkan peran lintas kementerian. Upaya yang dilakukan pemerintah adalah penyisiran lingkungan masjid dan screening terhadap TNI, Polri dan ASN, tentunya dengan menggunakan instrumen yang bisa dipertanggungjawabkan secara etik dan ilmiah.
Selain itu, penggunaan media Internet juga membuat masyarakat semakin muda mengakses berbagai informasi apapun. Sehingga penguatan literasi digital adalah salah satu upaya konkrit untuk menangkal penyebaran paham radikal.
Hal ini telah dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang telah mengajak generasi milenial di Kabupaten Bengkulu Selatan, untuk meningkatkan pemahaman tentang literasi digital guna menangkal gerakan terorisme, radikalisme dan separatisme yang dapat mengancam keutuhan NKRI.
Penguatan literasi digital diharapkan dapat memberikan pemahaman dan perbandingan kepada generasi milenial, untuk mengetahui antara informasi yang baik dan buruk. Sehingga para generasi milenial dapat menjadi agen penangkal penyebaran paham radikal yang dapat mengancam keutuhan NKRI.
Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah tersebut tentu saja patut diapresiasi sebagai upaya untuk mewujudkan ketertiban masyarakat. Selain upaya preventif seperti penguatan literasi digita, ada pula upaya lain yang dilakukan oleh pemerintah, upaya tersebut adalah dilaksanakannya program deradikalisasi.
Awalnya program deradikalisasi ditujukan untuk menangani tindak pidana terorisme yang terjadi, dan lembaga yang berwenang melakukannya yakni Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD mengatakan program deradikalisasi pemerintah untuk menyadarkan narapidana terorisme telah berhasil.
Mahfud mengatakan puluhan narapidana yang mendekam di penjara dengan pengawasan ketat untuk narapidana yang beresiko tinggi di Pulau Nusakambangan, Cilacap telah berikrar setia kepada negara. Upaya deradikalisasi bisa dilakukan dengan melibatkan tokoh masyarakat dengan cara persuasif dan mengedepankan pendekatan kultural. Jangan sampai Deradikalisasi dilakukan dengan teriak-teriak. Karena yang seharusnya dilakukan adalah mendalami masalah, mengidentifikasi akarnya, lalu mencari solusi yang tepat melalui musyawarah.
Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin, sempat mengatakan bahwa deradikalisasi terhadap warga negara Indonesia yang pernah bergabung dengan jaringan kelompok radikal bukanlah praktik yang mudah. Jika seseorang radikal dan melakukan tindakan melanggar hukum, maka dapat dibawa ke jalur hukum. Jika yang mereka lakukan adalah tindakan-tindakan secara ideologis, maka hal tersebut bisa dilawan dengan menggunakan wacana.
Masalah radikalisme tentu saja menjadi concern tersendiri, upaya konkrit yang dilakukan oleh pemerintah harus tetap kita dukung, agar Indonesia bisa menjadi negara yang aman dari segala paham yang berbahaya.

Penulis adalah warganet tinggal di Bandung