Komitmen negara maju sebagai the biggest historical polluters untuk membantu pembangunan energi yang ramah lingkungan di negara berkembang harus benar-benar direalisasikan. Presidensi Indonesia dalam G20 dapat digunakan sebagai upaya diplomasi untuk memberikan manfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dalam webinar yang diselenggarakan oleh SIGMAPHI Indonesia berjudul “After COP26, What’s Next? A Road to A Just Energy Transition: A Geopolitical Perspective”, peneliti SIGMAPHI Firdha Najiya menyatakan bahwa komitmen pembiayaan iklim yang dilakukan negara-negara maju di 2009, belum sepenuhnya terpenuhi.

Kanada dan Australia misalnya, baru terealisasi kurang dari 20%. Bahkan Amerika Serikat, baru terealisasi 4%.

Hasil studi SIGMAPHI Indonesia menunjukkan ada 7 pengemisi terbesar di dunia dalam 40 tahun terakhir yang berkontribusi terhadap lebih dari setengah dari total emisi global.

“negara-negara ini lah yang harusnya taking full responsibility terhadap pemanasan global yang saat ini sedang terjadi, dan telah berdampak lebih besar terhadap negara-negara berkembang dan miskin”, ungkap Firdha.

Sebelumnya, dalam COP26 yang berlangsung selama 2 minggu di Glasgow, Indonesia berkomitmen menghentikan penggunaan pembangkit listrik tenaga batu bara secara bertahap dan memulai transisi ke energi ramah lingkungan.

“sayangnya dalam pertemuan penting tersebut tidak ada diskusi bagaimana the biggest historical polluters taking responsibility atas pemanasan global saat ini” tutur Firdha.

Sementara itu masih dalam webinar SIGMAPHI Indonesia, Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Kementerian ESDM Sujatmiko menyatakan bahwa batubara memang masih menjadi tulang punggung sumber energi nasional yang menyumbang 38% dari total bauran energi primer Indonesia.

Berdasarkan data tahun 2020, sumber daya batu bara Indonesia mencapai 143,7 miliar ton, dengan cadangan sekitar 38,8 miliar ton, asumsi produksi per tahun sebesar 600 juta ton, sehingga kecukupan cadangan nasional diperkirakan mencapai 65 tahun (jika tidak ada penambahan batu bara).

“Batu bara merupakan aset energi nasional yang perlu dikelola dan dikembangkan semaksimal mungkin untuk menjawab tantangan transisi EBT (Energi Baru Terbarukan)”, ungkap Sujatmiko.

Arah pemanfaatan batubara sebagai sumber energi bersih nasional ditempuh dengan optimalisasi PLTU existing dan tambahan dengan penerapan clean coal technology serta carbon capture, utilization and storage. Kemudian tidak menambah PLTU baru di jawa dan PLTU mulut tambang di luar jawa, juga hilirisasi batubara menjadi DME, methanol, pupuk dan syngas.
“Jadi konsep pengembangan batubara ke depan bukan hanya gali, angkut dan bakar, tetapi gali, angkut, bakar, kemudian kembangkan”, pungkas Sujatmiko.