I Dewa Gede Surya Anom. (Foto: ist)

Denpasar – Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), versi hasil Mahasabha Luar Biasa (MLB) Gianyar pimpinan Marsekal TNI (Purn) Ida Bagus Putu Dunia (IBD) menampik pandangan bahwa dilaksanakannya MLB PHDI semata untuk merebut kekuasaan organisasi utama umat Hindu di Indonesia.

I Dewa Gede Surya Anom, dari Swastika Bali mewakili aliansi Hindu Nusantara, salah satu unsur yang mendukung MLB PHDI dalam pernyataannya menerangkan bahwa MLB dikatakan murni perjuangan untuk menyelamatkan Hindu dari upaya konversi keyakinan yang dilakukan sampradaya khususnya Hare Krishna, Sai Baba dan Sampradaya Asing lainnya.

Pengurus PHDI 2016-2021 (PHDI Pusat) yang dipimpin Mayjen TNI (Purn) Wisnu Bawa Tenaya (WBT) tuturnya, banyak terdiri dari sampradaya Hare Krishna, Sai Baba dan lainnya. Sehingga, menurutnya tidak heran jika PHDI Pusat sangat mengayomi sampradaya-sampradaya tersebut.

Hal inilah yang menurutnya menyebabkan sampradaya-sampradaya asing tersebut dapat leluasa melakukan penyebarannya dan pengkonversian keyakinan Hindu di Indonesia dan Bali khususnya.

“Dia (Hare Krishna, red) mengaku Hindu Bali tapi dia mengkonversi orang Hindu Bali. Menyalahkan upacara Hindu Bali, menyalahkan praktek Hindu Bali. Karena menurut mereka praktek upacara Hindu Bali itu tidak sesuai dengan Weda. Jadi keliru kalau ada yang mengatakan MLB itu adalah perebutan kekuasaan. Karena ini, semata-mata hanya untuk menyelamatkan Hindu,” kata Dewa Gede Surya Anom, di Denpasar, Jumat (26/11/2021).

Jumpa Pers PHDI MLB di Griya Angkasa di Jalan Sekar Tunjung XVIII No. 98, Gatsu Timur, Kesiman, Denpasar.

Lebih lanjut ia menerangkan, dalam kepengurusan PHDI Pusat 2016-2021 tersebut, baik di Pusat maupun Provinsi banyak yang tidak setuju terhadap sampradaya-sampradaya asing ini sebagai bagian dari hindu dan diayomi PHDI. 

Namun karena PHDI Pusat tidak menanggapi apa yang menjadi keluhan dari PHDI Provinsi, tidak mau mengeluarkan sampradaya asing tersebut untuk tidak melaksanakan kegiatan atas nama Hindu Bali Nusantara ini. Inilah yang lantas menurutnya menyebabkan ribut. 

“Karena takut dengan perpecahan organisasi, dalam AD/ART (Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga) ada ketentuannya untuk menghindari perpecahan dan hal-hal yang tidak bagus, maka dari itu PHDI Provinsi berhak mengadakan Mahasabha Luar Biasa asal didukung 2/3 dari anggota PHDI Provinsi yang ada. Makanya dengan MLB kita potong mereka dan kita jalankan ini saja yg murni dari sampradaya. Dia tidak bisa lagi melakukan ketentuan-ketentuan PHDI menyangkut pengayoman dan penyebaran ajaran tersebut,” paparnya.

Dalam ketentuan AD/ART, lanjutnya, dijelaskan bahwa Mahasabha Luar Biasa memiliki kewenangan dari Mahasabha. Memiliki kewenangan mendemisionerkan pengurus dan mengganti atau merubah AD/ART. Seandainya ada keberatan dari pihak PHDI versi WBT seharusnya ditempuh dengan jalur hukum. 

“Kalau sudah melakukan Mahasabha itu artinya sudah melanggar dan tidak boleh mengadakan mahasabha. Merek tidak boleh mengatakan MLB itu ilegal. Kalau ada keberatan, tempuh saja jalur hukum, bukannya malah buat Mahasabha. Kita tidak boleh mengatakan diri kita benar karena semua putusan ada di pengadilan,” tandasnya.

Sementara Yanto Jaya, S.H selaku Ketua Bidang Hukum dan HAM PHDI Pusat versi WBT mengatakan, terkait Sampradaya Asing dijelaskan sudah kelar. Waktu mengirim surat meminta pengayoman sudah dibalas dan surat sudah ditarik kembali alias dibatalkan.

“Itu kan bahasa lama. Kalau saya bilang itu bahasanya anak TK (Taman Kanak-Kanak). Kan sudah jelas secara kronologis.

Waktu Sampradaya kirim surat minta pengayoman. Surat sudah dibalas dan surat sudah ditarik kembali alias kita batalkan setelah ada Sabha Pandita. Kan sudah kelar soal Sampradaya,” jelas Yanto kepada wartawan.

Sisi lain disinggung mengenai Sampradaya Asing tidak sesuai dengan Dresta Adat Bali, Yanto malah balik bertanya. 

Yanto Jaya, S.H (Kiri) Selaku Ketua Bidang Hukum dan HAM PHDI Pusat versi WBT

“Terus kalau ditanya apakah di Indonesia tidak ada Sampradaya? Coba tanya Sugi Lanus, semua kita ini Sampradaya. Menurut Sugi Lanus ada dua, yaitu Sampradaya Nasional dan Transnasional. Terus kalau ditanya yang buat Tri Sandya itu orang India atau orang Bali?,” pungkasnya.

Artinya apa, Sampradaya itu kalau mau datang dari India kata Yanto pasti memang Hindu Sampradayanya. Tidak ada Sampradaya dari India itu aliran kepercayaan.

“Itu saja dasarnya, jangan dikotak-kotak lagi. Kamu India, anda Bali, kami Tengger dan kalian Toraja. Payungnya cuma satu yaitu Hindu Dharma bukan Hindu Nusantara,” imbuhnya.

Menurut Ketua Bidang Hukum dan HAM PHDI Pusat versi WBT ini, yang bikin kerusuhan adalah karena ada hembusan kata kata Hindu Nusantara. Jadi sebenarnya kalimat Hindu Nusantara pihaknya mengatakan tidak cocok untuk saat sekarang ini karena belum bisa menyatukan pendapat. 

“Kata Nusantara itu luas mencangkup Asia, bagaimana Hindu Vietnam atau Hindu di Filipina? Masing-masing memiliki tradisi tersendiri. Dulu sudah ada kesepakatan antara tokoh Hindu dan Dirjen Bimas Hindu pada bulan Februari 2020 sudah mengatakan bahwa ‘Hindu di Nusantara’ ada kata penghubungnya. Jika kata penghubung itu dihilangkan maknanya berubah. Jangan main-main sepotong kata penghubung itu hilang bisa jadi masalah,” singgung Yanto Jaya.