Denpasar, Deliknews – Kedudukan tempat ibadah sangatlah penting dan dihormati bagi umat beragama di Indonesia. Terlebih Pura Kuna tempat ibadah umat Hindu, pastinya keberadaannya dilindungi negara lantaran berdirinya memiliki histori atau sejarah panjang.

Namun tidak demikian dengan Pura Dalem Bingin Ambe Banjar Titih di Denpasar yang disebut-sebut berdiri ratusan tahun sebelum Indonesia Merdeka harus terdegradasi.

Lahan Pura pastinya sudah terkonsep Asta Kosali dan Asta Bumi seperti Madya Mandala (Bagian Tengah) dan Nista Mandala (Bagian Teben/Hilir) sebagai satu kesatuan Pura malah disertifikatkan dan dijadikan kos kosan. Tertinggal hanya lahan Utama Mandala (Bagian Hulu), mirisnya itu pun ditembok dan ditutup sehingga umat tidak memiliki akses masuk.

Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali diharapkan bisa mengembalikan kedudukan Pura itu belum terlihat melakukan langkah progresif atau tegas meminta terhadap negara untuk bertanggungjawab dan mengembalikan lahan Tempat Ibadah Pura seperti semula. Berapa kali mediasi dilakukan terkesan baru sebatas basa basi, hanya menggali informasi dan mengumpulkan data.

Ketua PHDI Denpasar Made Arka menjelaskan, pihak PHDI Bali belum bisa mengambil keputusan terkait permasalahan Pura Dalem Bingin Ambe. Pihaknya hanya memberikan sebatas saran saling mengikhlaskan, terlebih dikatakan masih memiliki hubungan saudara.

“Sagilik-Saguluk Salunglung Sabayantaka harus kita bangun sehingga terciptanya demokrasi yang baik. Kami akan tetap melaksanakan kegiatan mediasi ini dengan meyakinkan solusi itu ada. Kami hanya memohon kepada Ida Bhatara (Tuhan yang Maha Esa) agar diberikan jalan yang sebaik-baiknya tidak ada yang merasa tersakiti,” kata Made Arka kepada wartawan usai mediasi di Kantor PHDI Bali Jalan Ratna Denpasar, Kamis (19/5/2022).

Sebelumnya ia juga menyampaikan, bisa saja menekan dalam kasus ini, tetapi itu bukan sikap pengayom umat yang baik. Apalagi menjelekkan satu sama lainnya, dan dikatakannya juga sudah berkoordinasi terhadap Wali Kota Denpasar.

“Ini sudah kasus lama sekali, ini berawal dari informasi pemilik Pura tersebut. Dikatakan pemilik lahan di depan itu adalah ahli waris yang sudah pindah agama, tentu setelah pindah agama tidak peduli dengan Pura-nya. Wali Kota juga sudah menghimbau untuk mencari solusi yang paling tepat, karena kita di majelis Agama tidak mungkin melakukan hal yang tidak baik. Ya menurut kami hal itulah yang terbaik, dengan menawarkan agar bisa dibeli,” paparnya.

Menariknya, mesti penguasaan lahan Pura Kuno itu dijadikan kos-kosan diduga ada keganjilan, pihak Kementerian Agama diwakili Dr. Nyoman Arya mengingatkan para pihak agar sejatinya tidak mengambil jalur hukum terkait persoalan ini dan seyogyanya tetap harus melalui jalur bersifat dialogis.

“Sebaiknya kepada para pihak tetap mengedepankan asas musyawarah dan mufakat, tak elok rasanya jika masalah peribadatan masuk menjadi ranah hukum,” kata Dr. Nyoman Arya.

Sisi lain yang lebih mencengangkan dengan apa disampaikan Putu Diah Ratna Juwita, perwakilan Dinas Kebudayaan Kota Denpasar Bidang Cagar Budaya, jika Pura Bingin Ambe yang dikabarkan berdiri sebelum Indonesia Merdeka dan diempon lebih dari 500 orang ini menjadi pertanyaan bisa belum terdata di Dinas Kebudayaan Kota Denpasar.

“Pura Dalem Bingin Ambe belum terdata. Belum ada inventarisnya. Hanya baru diduga Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB),” sebutnya.

Ia menambahkan, Pura dapat dikatakan sebagai Cagar Budaya minimal Pura tersebut sudah berumur 50 tahun. “Salah satu syarat Pura dikatakan Cagar Budaya minimal berusia 50 tahun,” tambah Putu Diah Ratna Juwita.

Sementara itu dari pihak keluarga yang membangun kost depan Pura yang menutup akses keluar masuknya, menyatakan permohonan maaf untuk tidak mau banyak komentar. Mereka juga tidak membacakan hasil keputusan pengadilan yang dianggap sudah inkrah terkait status tanah tersebut pada puluhan tahun silam (1950), tetapi akan memberikan salinannya kepada pihak PHDI selaku mediator.

“Kami mohon maaf, belum bisa memberikan keterangan, khawatir berdampak ketersinggungan para pihak. Mungkin setelah bertemu keluarga kita akan tahu semua,” pungkas Ngurah Leo, Salah satu perwakilan keluarga.

Untuk diketahui juga sebelumnya Wakil Ketua Bidang Hukum dan Organisasi PHDI Provinsi Bali, Wayan Pasek Sukayasa, ST, SH, saat dikonfirmasi pada Sabtu (14/5/2022) mengatakan, pihaknya akan menempuh jalur hukum apabila proses secara kekeluargaan tidak bisa menjadi jalan keluar.

Menurutnya, hal ini sudah termasuk pelanggaran HAM berat yang berpotensi menimbulkan konflik antar agama. Terlebih menurut informasi, penutup akses tersebut seorang yang non-Hindu.

“Langkah kita di PHDI tetap mengikuti proses. Jika ada surat yang dikeluarkan pihak BPN bahwa tanah laba pura tersebut belum punya identitas kepemilikan bukan berarti seseorang semena-mena tutup aksesnya keluar masuk apalagi merupakan tempat peribadatan umat beragama Hindu (Pura),” tandas Sukayasa.

“Masalahnya adalah bagaimana sesorang bisa menutup akses jalan orang, apalagi Pura tersebut milik banyak orang yang untuk melakukan persembahyangan umat Hindu. PHDI sebagai majelis selalu akan mendampingi dalam penyelesaiannya, jika secara kekeluargaan tidak membuahkan hasil, maka kita akan tempuh jalur hukum,” sambungnya. (DN)