Jakarta – Kebijakan penerapan pembelian BBM bersubsidi melalui aplikasi MY-Pertamina yang tujuannya untuk membatasi kebutuhan masyarakat, dinilai tidak efektif dan menimbulkan ekonomi berbiaya tinggi oleh anggota Dewan Pakar DPP Partai Gerindra Bambang haryo Soekartono.
Menurutnya, Pertamina seharusnya fokus menjamin ketersediaan Bahan Bakar Minyak dan memastikan kelancaran distribusi, lantaran BBM merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Anggota DPR-RI Periode 2014-2019 ini, mengatakan Pertalite bukan merupakan BBM Subsidi, karena BBM bersubsidi adalah premium RON 88 sebagaimana yang berlaku pada era Orde Baru hingga era Presiden SBY. BBM Bersubsidi adalah Solar dan Premium.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Bahan bakar minyak bersubsidi Era Presiden Soeharto di tahun 1998, Premium seharga Rp1.200rupiah/liter, sedangkan di Jaman SBY tahun 2012 Premium dan Solar seharga sama 4.500rupiah/liter. Padahal harga minyak mentah dunia waktu itu sebesar 145 USD/barel, dimana saat ini harga minyak mentah dunia sekitar 100 USD/barel, sedangkan penggunaan premium tidak dibatasi di jaman orde baru dan SBY, sedangkan saat ini BBM subsidi harus menggunakan pertalite yg harganya jauh lebih tinggi daripada premium, maka harusnya pertalite saat ini tidak boleh di batasi penggunaannya karena difungsikan sebagai pengganti BBM Subsidi Premium”Kata Bambang Haryo.
Pemilik sapaan akrab BHS ini mengemukakan, masyarakat berhak untuk mendapatkan BBM bersubsidi baik Premium RON 88 maupun Solar, karena transportasi Publik di Indonesia belum terkoneksi dengan baik dari point ke point, serta tidak terjadwal dan tarifnya mahal.
Sehingga, lanjut BHS semua masyarakat masih harus menggunakan kendaraan pribadi baik mobil maupun motor agar bisa mempercepat perjalanan serta menepatkan waktu sesuai dengan kebutuhannya dan menekan biaya transportasi.
“Bila masyarakat menggunakan transportasi publik di Indonesia menjadi sangat mahal bisa jauh lebih mahal daripada menggunakan transportasi publik, sehingga dapat dikategorikan masyarakat yang menggunakan transportasi pribadi bukan hanya masyarakat kaya, tetapi juga termasuk masyarakat berpenghasilan rendah yang tujuannya untuk penghematan bila dibandingkan dengan menggunakan transportasi publik”Tukas Alumnus ITS Surabaya.
Lebih lanjut katanya, Ini berbanding terbalik dengan Negara – negara yang transportasi publiknya sudah terkoneksi dengan baik, seperti halnya di Jepang, Singapura, dan Negara Negara Eropa Barat masyarakat dari bawah sampai menegah atas pun memanfaatkan transportasi publik secara maksimal karena lebih murah dan tepat waktu.
Sementara itu, kata BHS, seperti di Malaysia. Pemerintahannya merasa bahwa transportasi publik belum bisa maksimal memenuhi kebutuhan masyarakatnya walaupun transportasi publik di malaysia jauh lebih baik konektivitasnya dibanding dengan di Indonesia, oleh sebab itu Pemerintah Malaysia tahu diri dan tetap memberikan subsidi bahan bakar yang diberikan kepada masyarakatnya. Tukasnya.
“Jenis bahan bakar yang diberikan kepada masyarakat Malaysia adalah Petrol 97 yang setara dengan pertamax turbo tanpa subsidi seharga 4,84 ringgit atau setara 16.400 rupiah/liter, Petrol 95 (bahan bakar subsidi) yang setara dengan Pertamax+ dengan harga 2,05 ringgit atau setara 6.957 rupiah/liter, Solar (subsidi) seharga 2,15 ringgit setara 7.297 rupiah/liter, dan bahkan transportasi publik baik taxi maupun logistik (truk dan bus) bisa menggunakan bahan bakar gas yang harganya sekitar 50% lebih murah dari bahan bakar minyak (BBM)” Ucap BHS yang juga ketua harian Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Jatim.
Kenapa, harga BBM di Malaysia bisa jauh lebih murah dari Indonesia yang juga sama – sama penghasil minyak mentah dan membeli BBM dari sebagian besar negara yang sama dengan Indonesia, misalnya Saudi Arabia, Singapura. Tanya BHS.
Karena itu, kata BHS. Kebijakan penggunaan aplikasi My-Pertamina pada BBM Pertalite, sangat tidak berdasar karena bukan BBM Subsidi, serta sangat tidak efisien dan akan mempersulit masyarakat yang berpendidikan rendah dan bahkan masih banyak yang tidak berpendidikan sebesar 20% di Indonesia.
Kemudian, sambung BHS, penggunaan My- Pertamina dapat membahayakan keselamatan pengendara saat penggunaan seluler phone dilokasi pom bensin, belum lagi jika aplikasi atau jaringan sedang terganggu akan menimbulkan antrian panjang dan macet, serta sulitnya mengakses aplikasi didaerah pedalaman yang jaringannya terbatas, ada penambahan biaya yang merugikan masyarakat karena masyarakat harus mengeluarkan biaya top-up, terbatasnya tenaga kerja di Pom Bensin untuk melakukan pemantauan aplikasi sekaligus pelayanan pengisian BBM, masih belum ada sosialisasi dari Pertamina tentang Aplikasi tersebut sampai dengan saat ini.
“Saat ini Pertamina mengalami kerugian besar sebesar 100 Triliun di tahun 2021 karena menjaual BBM Non Subsudi, sedangkan Petronas di Malaysia yang menjual BBM Subsidi maupun Non Subsidi yang jauh lebih murah di tahun 2021 malah mendapatkan keuntungan sangat besar yaitu sebesar 48,6 Milyar ringgit atau setara 159,7 triliun rupiah, maka kerugian pertamina adalah TIDAK MASUK AKAL . oleh sebab itu PERTAMINA HARUS DIAUDIT dan SAYA MENOLAK Pertalite yang dianggap BBM Subsidi DIBATASI, serta MENOLAK pemberlakuan Aplikasi My- Pertamina di Penjualan Pertalite”Tutup BHS.