Denpasar – Ketua Perkumpulan Pemerhati Pertanahan dan Agraria Terpadu Indonesia (P3ATI), Dr I Made Pria Dharsana, S.H MHum mengatakan, lahan eks Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) Nomor 44 PT. Sarana Buana Handara (SBH) atau Bali Handara otomatis menjadi tanah negara ketika batas ketentuan Peraturan Pemerintah dan Undang-Undang Pokok Agraria diabaikan.

Sosok kerap jadi saksi ahli kenotariatan dan pertanahan ini menjelaskan, hak guna bangunan (HGB), hak guna usaha (HGU), hak pakai dan hak pengelolaan adalah hak terbatas yang tertuang dalam pasal 16 Undang Undang Pokok Agraria. Sedangkan pengaturannya, ada dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 40 tahun 1996 yang diubah menjadi PP No 18 tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah.

“Dalam PP No18/2021 pasal 20, HGB atau HGU sudah mati kalau tidak diperpanjang atau pun kemudian setelah 2 tahun tidak diperpanjang, terlebih 11 tahun sudah lewat, sebenarnya hak itu sudah jatuh ke negara. Tidak perlu ada penetapan lagi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) atau pemerintah,” tegas Made Pria Dharsana, S.H MHum, dosen Kenotariatan Unud dan juga dosen hukum Pertanahan Universitas Warmadewa kepada wartawan, Sabtu (19/08/3023)

Kecuali kata Pria Dharsana, HGU atau HGB masih hidup namun dalam perjalanan 2 tahun berturut turut yakni selama 4 tahun tidak dimanfaatkan, itu perlu penetapan dari BPN sebagai tanah terlantar, sebagaimana diatur dalam pasal 5 PP No 20/2021 mengenai penertiban pendayagunaan tanah terlantar.

“Dalam pasal 7 (PP No 20/202, red) juga dijelaskan, tanah dengan HGB, hak pakai, hak pengelolaan, HGU dan tanah yang diperoleh berdasarkan dasar penguasaan atas tanah akan menjadi obyek penertiban tanah terlantar terhitung mulai 2 tahun sejak diterbitkannya dasar penguasaan terhadap tanah,” imbuhnya.

Made Pria Dharsana, SH M.Hum.

Lebih lanjut dipaparkan, batas-batas HGU atau HGB adalah 30 tahun, dapat diperpanjang 20 tahun dan pembaharuan hak 30 tahun, sepanjang tanah diperoleh sebelumnya digunakan, dimanfaatkan sebagaimana dengan hak telah dimohon. 

“Ketika HGB mati, apalagi 11 tahun artinya tidak punya hak lagi. Dilakukan permohonan pembaharuan hak pun sekarang jelas akan mengalami cacat yuridis lantaran telah melanggar ketentuan PP No 18/2021. Kan sebelumnya telah lalai, mengabaikan pemanfaatan lahan serta pajak dan merugikan negara,” pungkas Pria Dharsana.

Ia berharap kepada BPN, harusnya menilai, tanah dipegang pemilik hak badan hukum (perusahaan, red) yang tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya, sudah tidak diberikan kembali untuk mengajukan hak atas tanah sebelumnya.

“Memang dia memiliki sebelumnya, misal selama 30 tahun namun pemilik hak tidak pernah menggunakan dan memanfaatkan, sudah tidak bisa memenuhi syarat sebagai pengajuan hak atas tanah. PP sudah menentukan, otomatis berakhirnya hak. Kan berakhir, tidak ada pemegang hak lagi otomatis menjadi tanah negara,” singgungnya.

SHGB No 44 Ditelantarkan

Untuk diketahui sebelumnya, mencuatnya keresahan warga Desa Pancasari setelah PT. SBH atau Bali Handara mengklaim kembali lahan eks SHGB No 44 yang disebut-sebut telah ditelantarkan mengundang reaksi.

Sebelumnya, dihubungi wartawan I Gede Rena Purdiasa alias Renggo selaku Kelian Dusun Buyan Desa Pancasari membenarkan apa disampaikan warga, bahwasanya selama ini pihak PT. SBH telah menelantarkan lahan itu puluhan tahun. 

“Cuma dipagar kawat. Sementara pemanfaatan lahan tidak ada. Ditinggalkan begitu saja. Ya ditelantarkan. Satu pun bangunan tidak ada. Apalagi bercocok tanam. Selama ini, warga yang tempati lahan itu tanam sayur di sana. Dan itu kenyataannya sepanjang kami tahu puluhan tahun,” terang I Gede Rena Purdiasa alias Renggo kepada wartawan, Selasa (15/08/2023)

Lebih lanjut dikatakan, lahan itu pun dikabarkan sebagai tempat pembuangan sampah dan juga dulu banyak anjing liar dibuang ke sana. ” Dulu ada sampai warga meninggal karena digigit anjing rabies. Jika musim hujan sampah-sampah dibuang dari atas itu akan turun mengotori danau karena tidak diurus. Kalau sekarang kan sudah ditata warga yang tinggal di sana dan bekerjasama dengan Bumdes,” ungkapnya.

Plang Bali Handara di atas lahan eks SHGB No. 44, Desa Pancasari, Sukasada, Buleleng.

Renggo juga membenarkan ada beberapa warga tinggal di sana sudah berpuluh puluh tahun. Bahkan diungkapkan turun-temurun dari sang kakek. “Itu ada belasan warga di sana membangun rumah gubuk dan juga semi permanen. Setahu kami sudah lama sekitar 60 tahun. Sepertinya sebelum lahir SHGB No 44 sudah tinggal di sana,” jelas Renggo. 

Ia menyampaikan, sebagai Kelian Dinas Dusun Buyan berharap,  jika SHGB milik Bali Handara sudah tidak berlaku dan tidak ada hak lagi dengan lahan itu untuk segera mencabut plang. 

“Saya juga kaget selaku kelian dusun tiba-tiba ada plang itu di lokasi dan tidak dikasih tahu pemasangan plang itu. Bahkan Pak Babin malah menghubungi tiang menanyakan, artinya beliau juga tidak tahu. Selama ini kami hidup berdampingan saling membutuhkan dan rukun. Kami berharap jika Bali Handara sudah tidak ada hak lagi untuk segera mencabut plang agar tidak menimbulkan pertanyaan baru, saling curiga dan ada kejelasan,” harap Renggo selaku Kelian Dusun Buyan Desa Pancasari.