Jakarta – Pengamat Kebijakan Publik, Bambang Haryo Soekartono meminta Pemerintah untuk segera mengendalikan harga beras seiring harga jual di masyarakat sangat tinggi dan memprihatinkan, mencapai disekitaran 14 ribu hingga 15 ribu untuk beras medium dan bahkan di kisaran 18 ribu untuk beras premium. Padahal, Indonesia sebagai negara agrasis, harusnya hasil berasnya melimpah sebagaimana era 70-80 dan 90an.
Anggota DPR-RI periode 2014-2019 ini mengatakan, Lembaga Pangan di Indonesia seperti Bulog, Badan Pangan Nasional dan Satgas Pangan seharusnya segera mengambil peran yang semuanya bertanggung jawab untuk menciptakan kedaulatan pangan, ketahanan pangan dan kemandirian pangan bagi negara, bahkan Bulog sebagai stabilitator pangan di Indonesia terlihat lumpuh dan hanya mampu menyerap di kisaran 2% dari total produk yg ada di Indonesia sehingga mayoritas beras kita dikuasai oleh swasta yang dikhawatirkan bisa muncul adanya kartelisasi harga.
Dan Lembaga Pangan di Indonesia tersebut, menurut Bambang Haryo, harus bertanggung jawab langsung kepada Presiden untuk melakukan pengawasan harga dan kualitas sesuai dengan UU No. 7 Tahun 2014, PP No. 71 Tahun 2015 tentang 11 Komoditas pokok pangan harus dapat dikendalikan oleh Pemerintah termasuk beras didalamnya.
Apalagi, kata pemilik sapaan akrab BHS ini, Indonesia merupakan negara yang mempunyai luasan tanah produktif terbesar di Asia ada sekitar 70 juta hektar, yang dimanfatkan atau diolah seluas 45 juta hektar. Dimana hanya sekitar 7 juta hektar saja sebagai lahan produktif pertanian beras.
Harusnya, lanjut BHS, saat ini Indonesia sudah menjadi negara penghasil pangan terbesar di dunia dan sebagai lumbung pangan untuk kebutuhan domestik dan internasional dan sudah seharusnya harga beras di Indonesia tidak setinggi saat ini.
“Saya baru berkunjung ke Malaysia, cek harga beras di pedalaman wilayah Penang pinggiran perbatasan Malaysia yaitu sebesar 2,6 ringgit atau sekitar 9.100 rupiah perkg untuk beras lokal produk Malaysia. Harga beras ini merupakan beras kualitas premium dan harga tersebut relatif sama diseluruh wilayah negara Malaysia, padahal Malaysia hanya mempunyai lahan produktif untuk pertanian padi sebesar 648 ribu hektar atau hanya sekitar 0,9% dari lahan produktif di Indonesia yang seluas sekitar 70 juta hektar dan penduduk Malaysia jumlahnya sekitar 33 juta jiwa atau sekitar 12% dari total penduduk di Indonesia”Imbuh BHS.
Malaysia saat ini, tambah BHS, pun masih mengimpor beras dari India, Pakistan, Vietnam dan Thailand sampai dengan September 2023 dan target tahun ini impor 1,2 juta ton. Kondisi ini tidak berbeda jauh dengan Indonesia.
Kenapa negara Malaysia bisa menjamin kecukupan beras kepada rakyatnya?? dan menjamin harga beras premium sebesar 9.000 rupiah berlaku di seluruh wilayah Malaysia sedangkan Indonesia kesulitan, padahal Indonesia memiliki lahan produktif pertanian terluas di Asia, kenapa tidak bisa??? Inilah yang perlu di kaji dan dianalisa secara maksimal oleh Kementerian Pertanian bersama Kementerian Perdagangan dan Lembaga – Lembaga yang bertanggung jawab terhadap pangan.
“Sedangkan, saat saya hadir di Vietnam yang merupakan penghasil beras terbesar urutan ke-5 di dunia sebesar 27,1 juta ton setelah Indonesia sebesar 34,4 juta ton, kenapa harga beras di Vietnam jauh lebih murah dari Indonesia yaitu sebesar 11.250 Dong atau sekitar 7.000 rupiah perkg, padahal lahan pertanian di Vietnam dari 33 juta hektar lahan produktif hanya 3,8 juta hektar yang dipergunakan secara hukum untuk pertanian beras saja” Ulas BHS.
Itupun, tambah BHS, Vietnam mempunyai penduduk 97,33 juta jiwa tetapi negara bisa menjamin kecukupan kebutuhan berasnya dan Vietnam bisa swasembada beras bahkan sekaligus masih meningkatkan ekspor berasnya ke negara lain, dan bahkan di tahun 2023 sudah meningkatkan produksi berasnya 10% dari tahun 2022 atau saat ini ekspornya sebesar 7,8 juta sampai dengan Agustus 2023. Jadi tidak benar ada berita kiamat beras bagi Vietnam termasuk berita Vietnam menyetop atau melarang ekspor beras. “Sudahlah bicara yang realistis berdasarkan data yang ada saja!” Ujar BHS
Demikian juga negara Thailand, kata Anggota Bidang Pengembangan Usaha dan Inovasi DPN HKTI ini, sebagai pengekspor beras terbesar ke-2 dunia tetap melakukan kebijakan ekspor beras dan bahkan malah meningkatkan dari 7,71 juta ton tahun lalu menjadi 8,5 juta ton tahun ini sampai dengan bulan Agustus 2023, sedangkan lahan pertanian yang dikhususkan untuk padi di Thailand hanya sebesar 50% dari total 9,2 juta hektar lahan produktif dimana lahan tersebut jauh lebih kecil dari luasan lahan pertanian yang ada di Indonesia.
“Tetapi kenapa Thailand bisa mewujudkan swasembada pangan dan bahkan masih bisa mengekspor beras padahal di negara tersebut termasuk Vietnam juga sangat dipengaruhi oleh musim kemarau dan hujan seperti yang ada di Indonesia. Bahkan negara Laos pun meningkatkan ekspor berasnya ke negara Eropa seperti : Belgia, Perancis dan Italia. Berarti negara-negara penghasil beras malah cenderung meningkatkan produksinya dan bahkan beberapa negara penghasil beras meningkatkan ekspornya. Dan ini tentu bisa dimanfaatkan oleh Indonesia apabila produksi berasnya berkurang.” kata BHS
Sudah seharusnya, kata Bapak Petani Sidoarjo, pemerintah segera melakukan kajian sekaligus analisa tata kelola pangan di Indonesia agar hasil pertanian khususnya beras bisa diproduksi maksimal di Indonesia sehingga dapat diperoleh masyarakat dengan mudah, harga murah dan kualitas yang baik sebagai makanan pokok bangsa Indonesia sekaligus beras dapat menunjang pertumbuhan rantai ekonomi di berbagai usaha makanan termasuk UMKM di Indonesia.” Tutup BHS
Tinggalkan Balasan