Denpasar – Mengejutkan apa disampaikan Prof. Gde Antara dalam eksepsi pembelaan dakwaan korupsi Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) Universitas Udayana (Unud).
Selain tidak mampu negara memberikan dana pengembangan institusi sebagai dasar pemungutan SPI di seluruh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Indonesia, hal lain lebih mengejutkan, banyak pejabat tinggi meminta sanak saudaranya maupun kolega untuk bisa masuk ke Unud.
Pengacara Hotman Paris Hutapea menyebut, kliennya sebagai korban rekayasa hukum oknum internal dan eksternal. Ia menilai ada skenario besar di balik Prof. Gde Antara diperkarakan sebagai pesakitan di meja hijau.
“Tadi sudah dilampirkan di nota keberatan, surat-surat yang meminta sanak saudaranya maupun koleganya untuk masuk ke Udayana, tapi tidak dipenuhi kemungkinan ini ada dendam pribadi,” terang Hotman kepada wartawan di Denpasar Bali, Selasa (01/10/2023)
Lebih lanjut dijelaskan bertambahnya kecurigaan prihal rekayasa hukum dalam kasus Prof Antara adanya kejanggalan mengenai surat dakwaan.
“Di surat dakwaan dijelaskan kerugian negara, tetapi dimana letak kerugian yang dihasilkan ini kan pungutan kepada mahasiswa, dan pungutan tersebut masuk ke negara serta ke rekening universitas (Unud, red),” sambungnya.
Selain permainan dari pihak eksternal Hotman menjelaskan adanya permainan dari eksternal Universitas Udayana untuk menjegal Prof Antara.
“Beberapa oknum internal Universitas Udayana yang kemudian memanfaatkan oknum eksternal Universitas Udayana untuk menjegal, menghentikan dan menggantikan Terdakwa sebagai Rektor yang sah sebelum masa jabatan Terdakwa selesai tahun 2025 nanti,” imbuh Hotman.
Hotman menambahkan keanehan selanjutnya adalah dikasuskannya pemungutan SPI karena di masing-masing perguruan tinggi negeri sudah melaksanakan pungutan tersebut sejak zaman dahulu.
“Jika semua jaksa pemikirannya Jaksa Penuntut Umum (JPU) maka seluruh rektor universitas negeri akan ditahan,” tutup Hotman.
Sementara itu dalam nota keberatannya Prof Nyoman Gde Antara menepis tuduhan terhadap dirinya yang melakukan korupsi dana SPI.
“Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) sangat diperlukan Perguruan Tinggi Negeri (PTN), sehubungan pendanaan dari pemerintah saat ini masih belum dapat memenuhi standar minimum penyelenggaraan Pendidikan tinggi karena sampai saat ini Pemerintah hanya mampu membiayai 28% dari dana yang diperlukan PTN,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa penggunaan SPI adalah sebagai bahan subsidi silang di dalam poses akademik di Universitas Udayana.
“Dana SPI ini pada prinsipnya pengelolaannya digunakan untuk subsidi silang bagi mahasiswa kurang mampu yang tidak membayar Uang Kuliah Tinggal (UKT),” sebut Prof Antara.
Prof Antara menambahkan bahwa bukan kapasitasnya sebagai Rektor yang menentukan besaran dari SPI tersebut, tetapi ada tim dan masing-masing Program Studi (Prodi).
“Pemungutan Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) Universitas Udayana yang merupakan tugas pokok dan fungsi dari Wakil Rektor Bidang Umum dan Keuangan yakni Prof. Dr. Drs. IB Wiksuana beserta tim menyusun besaran SPI tiap-tiap Prodi yang disesuaikan dengan biaya operasional prodi tersebut,” tutup Prof Antara.
Untuk diketahui, diberitakan sebelumnya Rektor Unud Prof. Nyoman Gde Antara bersama tiga orang lainnya, yakni NPS, IKB dan IMY ditahan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali. Penahanan dilakukan terkait perkara dugaan penyalahgunaan atau korupsi dana Sumbangan Pembangunan Institusi (SPI) Unud.
“Tersangka INGA disangka melanggar pasal 2 ayat (1), pasal 3, Pasal 9, Pasal 12 huruf e jo Pasal 18 UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang (UU) Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 65 KUHP,” terang Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Bali, Putu Agus Eka Sabana, S.H, M.H melalui keterangan tertulis yang diterima wartawan, Senin (9/10/2023) pekan lalu.
Eka Sabana merinci, terkait NPS, IKB, IMY disangka melanggar Pasal 9, Pasal 12 huruf e jo Pasal 18 UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 65 KUHP.
Ia menambahkan, selanjutnya dilakukan penahanan oleh penyidik di Lapas Kerobokan selama 20 hari ke depan untuk menunggu proses selanjutnya. “Untuk proses selanjutnya, penyidik melakukan penahanan selama 20 hari di Lapas Kerobokan,” pungkas Eka Sabana