Tabanan – Ketua Tim Advokasi Pura Dalem Desa Adat Kelecung, I Gusti Ngurah Putu Alit Putra mewakili para pihak tergugat mengatakan, keterangan para saksi dihadirkan penggugat dalam persidangan disebutkan malah bunuh diri alias hara kiri.
Pasalnya menurut pihaknya, empat saksi dihadirkan pada persidangan dalam dua hari berbeda, 27 dan 30 November 2023 jauh panggang dari api gugatan. Justru katanya, semakin memperlihatkan gugatan dilayangkan tidak teliti dan jeli.
“Semakin menyeret gugatan ini pada ranah perebutan laba (aset) pura, sementara prinsipal penggugat adalah pribadi, dengan dasar sertifikat atas nama milik pribadi, bukan milik laba pura, tentu saja lepas dari pokok perkara. Begitu juga memaksakan cerita konsep Tri Mandala pada Pura Taman, itu jelas menguntungkan kami. Ini bunuh diri saksi penggugat. Sangat jauh dari fakta riwayat tanah dan cendrung mengada-ngada,” ungkap Gusti Ngurah Putu Alit Putra kepada wartawan di Tabanan, Sabtu (02/12/2023)
Menurut Alit, keterangan saksi membuatnya tergelitik, karena sejak dahulu sudah diketahui oleh Masyarakat Adat Kelecung tidak pernah ada tembok pembatas, antara tanah sengketa dengan tanah milik Penggugat dan Pura Taman, tidak ada bangunan-bangunan yang menandakan layaknya area Tri Mandala sebuah Pura.
“Keterangan para saksi itu benar atau sebaliknya? Mereka membuat kami tergelitik ragu karena lucu, keterangan yang dimaksud tidak seusai faktanya. Dimana tidak ada bangunan-bangunan layaknya bangunan yang ada di area Nista Mandala sebuah Pura di lokasi, seperti pewaregan (dapur), bale kulkul dan lain-lain bahkan di tanah kosong yang disengketakan juga diklaim sebagai Nista mandala, justru ada batas yang baru dibuat oleh para Penggugat sendiri tahun 2005, berupa bis dan candi bentar seolah-olah ada batas,” pungkasnya.
Alit juga menambahkan, sepanjang sejarah sebagai bagian dari masyarakat adat, pihaknya baru mengetahui dan mendapati area Utama Mandala atau Madia Mandala Kawasan Pura yang diklaim saksi ada sawahnya dan sapinya, ada penggarap di lahan yang dimaksud. Sehingga alibi bahwa tanah sengketa adalah Nista Mandala merupakan lelucon dari para saksi Penggugat.
“Ini kan jadinya lelucon saja. Kasihan saksinya harus bercerita hal-hal seperti itu, kami kasihan melihat ada saksi yang dihadirkan Penggugat sampai tangannya gemetar dan lebih banyak menjawab tidak tahu ketika Tim Advokasi DA Kelecung mendalami dan terus mengejar keterangan yang bersangkutan,” imbuhnya.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, Ni Wayan Pipit Prabhawanty, salah satu anggota Tim Advokasi Pura Dalem Desa Adat Kelecung selaku Tergugat, mempertanyakan soal kebenaran keterangan saksi dari pihak Penggugat (A A Mawa Kesama) dalam agenda kesaksian oleh pihak Penggugat, gugatan perdata No. 190/Pdt.G/2023/PN Tabanan yang berlangsung pada 30 November 2023.
Pipit menyebut, Badan Pertanahan Negara (BPN) Tabanan menerangkan dalam kesaksian bahwa BPN pernah dipanggil oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tabanan. Hal tersebut lantas dipertanyakan kembali oleh tim advokasi kepada saksi kedua dari Penggugat, yang kebenaran keterangannya menjadi pertanyaan.
“Pada intinya saya mempertanyakan kebenaran semua keterangan saksi dalam sidang Kamis kemarin. BPN (Badan Pertanahan Negara, red) Tabanan menyebutkan dalam kesaksian bahwa pihaknya sempat dipanggil oleh Ketua DPRD Tabanan, saksi (Penggugat, red) menjawab tidak mengetahui terkait pemanggilan. Tetapi saksi mengetahui jika Ketua DPRD Tabanan beberapa kali datang ke Pura Taman (yang Penggugat klaim sebagai dasar gugatan, red) dan memberikan dana hibah untuk pembangunan Pura Taman tersebut. Faktanya, yang dimaksud Pura Taman didalam SHM (Sertifikat Hak Milik, red) tertera nama Agung Mawa,” ungkap Pipit, Jumat (1/12/23).
Pipit juga mempertanyakan terkait adanya 2 SHM milik Penggugat yang bukti pajaknya merupakan 1 SPPT yang sama, dimana SPPT yang sama tersebut luas tanahnya dibawah luas tanah yang tertera di kedua SHM.
Sementara itu, Wayan Sutita alias Wayan Dobrak menambahkan, keterangan dua orang saksi dari Penggugat tidak memiliki nilai apapun. Menurutnya, saksi merupakan bagian dari Penggugat, sehingga kebenarannya dalam bersaksi patut dipertanyakan.
“Mereka para saksi kan menerangkan, sebagai alasan bahwa Penggugat merasa memiliki tanah sengketa, karena tanah sengketa merupakan bagian dari Nista Mandala Pura Taman dan ada pipil sawahnya. Padahal, objek sengketa pasir pantai. Ini ngae-ngae (bohong, red) sudah, saya baru tahu ada sawah dengan pasir pantai,” tambahnya.
Disisi lain, pihak Jero Marga yang merupakan bagian dari para pihak Penggugat berusaha meluruskan yang sebenarnya terjadi. Panglingsir (Pinisepuh) Jero Marga Tabanan, A A Nyoman Supadma, A A Ketut Mawa, Anak Agung Bagus Ngurah Maradi Putra didampingi secara langsung oleh kuasa hukum AA Ratih Maheswari pun memberikan klarifikasinya di Puri Kerambitan.
Mereka menyebut tanah yang diklaim oleh warga Adat Kelecung seluas 27,8 are sejatinya masuk kawasan Duwe Pura Kahyangan Taman dengan total luasan 3,075 hektare. Tanah tersebut terbagi menjadi beberapa kawasan yakni Pura Kahyangan Luhur, Pura Padukuhan, Pura Penataran, carik (sawah), tegalan, tanah kosong di utara apit surang (gapura). Termasuk juga tanah di selatan apit surang yang berada di pinggir pantai yang kini bersengketa itu.
“Jika lihat dari sejarah tanah itu milik dari duwe Pura Kahyangan Taman yang ada sejak tahun 1771 Masehi saat pertama kali didirikan Pura Kahyangan Taman oleh leluhur kami A.A Ngurah Gede,” jelasnya.
Karena itu, pihaknya menjelaskan jika, pihaknya hanya menggugat lahan kosong seluas 27,8 are yang merupakan bagian dari Pura Taman yang pangemong-nya keluarga Jero Marga Puri Kerambitan yang jaraknya 425,56 meter dari areal pura.
Saat ini, lahan kosong tersebut kini dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk tempat berjualan dengan mendirikan warung bedeng.
“Jika kami dikatakan menggugat Pura Dalem Kelecung itu tidak benar. Namun, objek tanah yang disengketakan ini menjadi bagian dari nista mandala Pura Taman yang jaraknya sekitar 400 meter dari Pura Luhur Dalem,” tambahnya.
Sementara itu, Kuasa Hukum Jero Marga, AA Sagung Ratih Maheswari menambahkan, atas permasalahan ini, pihak Jero Marga telah melakukan mediasi sebanyak 3 kali bersama pihak Desa Adat Kelecung pada tahun 2020.
Jero Marga telah menawarkan agar lahan tersebut dikembalikan seperti sebelum PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap) agar bisa melakukan sertifikasi atas nama Pura Taman. “Namun, hal itu justru ditolak oleh pihak desa adat dan mengklaim lahan seluas 27,8 are tersebut telah diwariskan oleh leluhur mereka berdasarkan keterangan dari tetua desa setempat,” jelasnya.
Tinggalkan Balasan