Sumbar – Korban meninggal akibat erupsi Gunung Marapi yang terjadi pada Minggu (3/12/2023) bertambah menjadi 20 orang. Data tersebut didapat per Selasa malam (5/12/2023), pukul 21.00 WIB.
Kapolda Sumatera Barat Irjen Pol Suharyono mengatakan, pada Senin (4/12/2023), korban meninggal yang dievakuasi sebanyak 5 orang, lalu pada hari ini, Selasa (5/12/2023), korban yang berhasil dievakuasi sebanyak 15 orang.
“Jadi sementara ada 20 orang korban meninggal dunia,” katanya, Selasa (5/12/2023).
Data sementara hingga Selasa malam, jumlah pendaki yang menjadi korban erupsi Gunung Marapi ada sebanyak 75 orang, 52 di antaranya dinyatakan selamat, 20 orang sudah dinyatakan meninggal dunia dan sudah dievakuasi ke RS Ahmad Muchtar Bukittinggi.
“Tersisa 3 korban yang masih belum dievakuasi atau masih berada di atas Gunung Marapi,” ujar Suharyono.
Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Sumatera Barat, Ade Edward, memandang bencana gunung meletus yang memakan banyak korban jiwa ini, seharusnya sudah menjadi bencana nasional. Ia menilai ada unsur kelalaian di balik jatuhnya banyak korban.
“Gunung Marapi ini statusnya waspada level II sejak Agustus 2011, dievaluasi terus dan trennya sama tidak pernah turun,” ujarnya, Selasa (5/12/2023).
Menurut dia, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumbar adalah pihak yang mesti bertanggung jawab atas dampak korban jiwa dalam bencana ini.
Ade menjelaskan, status waspada level II itu, gunung api sewaktu waktu dapat meletus membahayakan manusia. Sehingga Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) mengeluarkan rekomendasi untuk tidak boleh mendekati puncak gunung dalam radius 3 kilometer.
“Iya karena tidak ada yang tahu kapan akan meletusnya, makanya tidak boleh didekati, tapi oleh BKSDA malah dibuka sebagai wisata,” jelasnya.
Ade mengatakan, satu-satunya instansi yang berwenang dalam hal gunung api ialah Kementerian ESDM, yakni PVMBG.
Jika ada instansi lain yang membuka dengan tujuan wisata, lanjutnya, maka mitigasi bencananya menjadi tidak jelas, apalagi jika tidak berkoordinasi dengan pihak terkait.
“Masalahnya dalam pembukaan kawasan ini mulai dari pemerintah daerah, provinsi dan BKSDA setuju untuk pembukaan taman wisata alam yang dikelola BKSDA ini,” ujarnya.
Ade menilai, BKSDA sudah melanggar ketentuan Undang-Undang 24 Tahun 2007 Penanggulangan Bencana. Pengelolaan Gunung Marapi menjadi tempat wisata, menurut Ade, itu di luar kewenangan BKSDA, karena itu geologi dan gunung api.
Ia menyampaikan, pihak keluarga korban yang terdampak atas bencana erupsi Gunung Marapi kali ini bisa melaporkan dan menuntut secara pidana BKSDA Sumbar ke pihak kepolisian.
“Ada kelalaian, bisa dilaporkan dengan pidana oleh keluarga korban,” ia menambahkan.
Sementara Plh Kepala BKSDA Sumbar, Eka Dhamayanti, mengatakan sebelum pembukaan jalur pendakian Gunung Marapi sebagai Taman Wisata Alam (TWA) pada Juli 2023 ini, pihaknya sudah berdiskusi dengan masyarakat dan pemerintah daerah untuk proses pengelolalan Marapi.
“Dari hasil kesepakatan dengan memperhatikan kondisi aktivitas gunung yang menurun pascaerupsi awal tahun kita memutuskan membuka dengan sistem baru dengan online,” katanya.
Namun demikian, kata Eka, karena status waspada level II, maka pihaknya melakukan pembatasan dan menerapkan upaya mitigasi risiko bencana erupsi dan bencana alam.
“Misalnya mitigasi dengan memberi pengarahan dan imbauan, memberikan informasi kepada pengunjung tentang kerawanan bencana serta juga ada papan informasi,” ujarnya.
Akan tetap, jelas Eka, pihaknya tidak bisa membatasi ruang gerak pengunjung ketika sudah berada di kawasan TWA. Pihaknya mengaku SOP yang diterapkan sudah mengatur bagaimana perjalanan pendakian sesuai tepat waktu dan keselamatan pengunjung.
Terkait adanya indikasi kelalaian dari BKSDA, Eka menyebut bahwa semuanya proses mulai dari pembukaan TWA sudah melalui pertimbangan.
Lalu terkait adanya rekomendasi dilarang mendekati kawah radius 3 kilometer, Eka menilai hal itu sifatnya imbauan dari PVMBG.
“Imbauan itu juga sudah kita antisipasi dengan upaya mitigasi,” ia menambahkan.
Tinggalkan Balasan