Surabaya – Nahdlatul Ulama (NU) adalah sebuah organisasi keagamaan, bukan organisasi politik. Namun, setiap lima tahun, organisasi keagamaan ini menjadi sorotan para calon presiden dan calon wakil presiden yang berusaha merebut dukungan suara.

Ketegangan politik dari berbagai pihak menjadi ujian serius terhadap komitmen para pemimpin NU menjelang tahun politik 2024. Penting untuk menjaga citra politik NU agar tidak dianggap sebagai alat politik semata.

Baru-baru ini, seorang pemuda NU yang pernah memimpin PKB dan mencalonkan diri sebagai calon presiden mengungkapkan keraguan terhadap kesetiaan NU jika warga NU tidak memilihnya. Hal ini menimbulkan perdebatan, di mana beberapa tokoh NU angkat bicara, menegaskan bahwa NU adalah organisasi keagamaan, bukan alat politik tertentu.

Putra kiyai kharismatik almarhum K.H Soeleiman Fadeli Pemimpin Ansor dan tokoh senior NU Jatim H.norma Fauzi S.H menegaskan, “NU adalah organisasi keagamaan, bukan organisasi politik. NU tidak harus terkait dengan PKB, dan memilih PKB tidak selalu berarti mendukung NU.”

Ketua dewan pakar Partai PPP dan komisaris PT. Kasa Husada Wira Jatim menyoroti ambisi politik seorang tokoh, menyatakan bahwa penggunaan identitas politik hanya untuk mencapai kekuasaan dapat memecah belah bangsa. “Jangan sampai ambisi menjadi pemimpin merusak persatuan bangsa ini,” tegasnya.

Doktrin “sami’na wa atho’na” atau “apa pun petunjuk kiai, kami laksanakan” disoroti sebagai instrumen politik yang efektif dalam mempengaruhi preferensi politik pemilih yang berasal dari kalangan nahdliyin.