Jakarta – Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey menyampaikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah agar harga nikel tidak terus terkoreksi dan bisa terdongkrak ke depan.
Salah satu rekomendasi, yakni melalui balancing supply dan demand, dalam artian keseimbangan antara jumlah pabrik dan penambang yang sudah diberikan izin produksi dengan konsumsi yang dibutuhkan dalam negeri.
“Di-balancing dahulu, contohnya jangan butuhnya 1 juta, di sini (produksinya) over, misalnya 5 juta, jadi kan tidak balancing sehingga oversupply,” sebut Meidy Katrin Lengkey saat ditemui di BEI, SCBD, Jakarta Selatan, Selasa (23/1/2024).
Dikatakan Meidy, pihaknya juga meminta kepada pemerintah untuk melakukan penghentian atau moratorium pembangunan smelter nikel baru. Sebaiknya, lanjut dia, kita fokus terhadap pabrik-pabrik pengolah nikel, smelter ataupun ore metalurgi yang sudah berdiri.
“Kita support, stop mengundang yang baru, ini kan nikel kelas dua sehingga kenapa yang kita worry kan cadangan, jadi kita support yang sudah ada saja sehingga cadangan kita itu tidak habis,” tutur dia.
Alangkah baiknya sebut Meidy, justru pemerintah mengundang pabrik yang nantinya dapat mengolah bahan mentah tersebut menjadi produk jadi seperti pabrik baterai listrik, stainless steel dan lain sebagainya. Selain terhindar dari kekhawatiran cadangan nikel akan habis, langkah tersebut dapat menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat luas.
Lebih lanjut, Meidy menyampaikan keluhan para pelaku industri nikel dunia yang sepertinya mengalami kecemburuan terhadap produksi nikel Indonesia. Kecemburuan tersebut berkaitan dengan oversupply dan biaya produksi mineral di Indonesia yang murah sehingga dianggap tidak fair untuk market dunia.
“Contoh stainless steel kita bisa dibilang 60% cost produksi kita lebih rendah dibandingkan dengan negara lain, ini enggak fair banget ya untuk kita bicara di internasional market/trade,” ucapnya.
APNI juga mendorong agar Nikkel Price Index dapat masuk ke dalam bursa supaya meminimalisir tambang ilegal (illegal mining). Saat ini pihaknya sedang berdiskusi dengan BEI, supaya segala hal mengenai nikel ini dapat terdata secara keseluruhan dan negara mendapatkan kepastian tentang berapa perhitungan pendapatannya.
“Bagaimana konsep good mining practice dari raw material biji nikelnya yang betul-betul concern terhadap ESG, kita benahi di bawah dari balancing, fairness, dan dampak lingkungannya sehingga kita proper untuk fight di dunia,” tutup Meidy.
Diketahui, Harga nikel kian merosot dan mendekati level terendah sejak tahun 2021. Melansir dari Stockbit, per 22 Januari 2024, harga nikel telah turun -44,64% secara year on year (yoy) ke level US$ 15.799 per ton. Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey mengatakan jatuhnya harga nikel ini bukan sepenuhnya karena Indonesia saja.
Namun memang, Indonesia menjadi salah satu penyumbang kondisi penurunan harga nikel yakni dari over supply-nya produk Indonesia. Meidy menyebut penurunan harga nikel ini terus terjadi sejak kuartal I 2023 atau tepatnya pada Februari-Maret tahun lalu.
“Kita takut kalau sampai di bawah 15.000 sih kita benar-benar bleeding dan tidak bisa menutup biaya produksi, kondisi saat ini pun banyak anggota APNI yang hanya dalam posisi memproduksi tetapi tidak seperti biasanya, jadi memproduksi untuk menutup biaya produksi saja,” ujar Meidy Katrin Lengkey saat ditemui di BEI, SCBD, Jakarta Selatan, Selasa (23/1/2024).
Tinggalkan Balasan