Foto: Mantan Rektor Unud Prof Nyoman Gde Antara didampingi penasihat hukumnya saat diwawancarai awak media usai persidangan di Pengadilan Tipikor Denpasar, Selasa (23/1/2024). (Sumber: Deliknews/Wan)
Denpasar – Meski tidak ada uang negara mengalir ke kantong Prof Gede Antara dalam fakta persidangan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali tetap menuntut 6 tahun penjara serta denda Rp300 juta dalam agenda sidang tuntutan dakwaan korupsi Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) Universitas Udayana (Unud).
Jaksa dengan tegas meminta kepada hakim, agar terdakwa dijerat pasal 12e, pasal 18a dan pasal 18b Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor, red) jo pasal 55 Ayat 1 dan pasal 65 ayat 1 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)
Menjadi menarik, tuntutan ini didasarkan atas ada pengendapan uang SPI Unud di dalam rekening Unud sendiri sebagai rekening negara sebesar Rp4,2 miliar, bukan berdasar terjadi pengendapan dana di rekening terdakwa atau keluarga terdakwa dan di rekening pihak ketiga.
“Dengan total jumlah pungutan Rp4.200.452.100 uang tersebut seharusnya digunakan untuk pembangunan sarana prasarana namun disimpan dalam bentuk deposito,” terang Dino Kries Miardi selaku Ketua Tim JPU Kejati Bali di Pengadilan Negeri (PN) Tindak Pidana Korupsi Renon Denpasar, Selasa (23/01/2024)
Dino juga menambahkan, dana Unud sendiri disimpan di beberapa bank, seperti Bank BTN Rp50 miliar, BPD Rp70 miliar, Bank Mandiri Rp30 miliar dan, Bank BRI Rp100 miliar. Ia menyebut, semua dana di bank itu sebagai jaminan atau agunan guna mendapat fasilitas.
“Digunakan sebagai jaminan atau agunan untuk mendapat mobil mewah yang digunakan terdakwa, istri terdakwa dan pejabat di lingkungan Unud,” sebut Dino.
Sementara Gede Pasek Suardika (GPS) sebagai penasihat hukum (PH) dari terdakwa Prof Antara mengaku senang lantaran tuntutan dari dakwaan pertama tidak dipakai namun yang dipilih sebagai tuntutan adalah dakwaan kedua yang sifatnya alternatif. Itu artinya pasal 2 dan pasal 3 (UU Tipikor, red) sudah gugur.
“Dakwaan pertama sudah dicabut, itu kami apresiasi dan di fakta sidang memang auditnya abal-abal. Kemudian yang kedua soal pungli, saya kira ada perbedaan pasal 12e ini dengan pasal-pasal yang lain dalam undang-undang Tipikor. Kalau pasal 2 dan 3 itu ada memperkaya diri sendiri dan juga orang lain atau korporasi,” singgungnya.
Ia menjelaskan, tuntutan jaksa terkait pasal 12e pemaknaannya pun dirasa aneh. Apakah orang lain ditafsirkan adalah korporasi. Jika begitu, Unud yang pungli karena terdakwa tidak ada menerima apa pun. GPS juga menyampaikan, dalam tuntutan juga disebutkan terdakwa tidak menerima apa pun.
“Artinya korporasi dimaknai di sini, kalau saya dengar tadi adalah Unud dan ini pertama kali lembaga negara milik pemerintah menerima pendapatan disebut pungli,” bebernya.
GPS mengatakan, apabila nanti diterima sebagai putusan, ini menjadi yurisprudensi paling aneh, di mana negara menerima pendapatan dan itu adalah pungli.
“Kalau ada dana yang mengendap itu bukan di SPI. Makanya itu juga asumsikan, bahwa dikatakan SPI padahal tidak. Yang namanya PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) itu sumbernya banyak, bisa dari UKT (Uang Kuliah Tunggal), jasa giro, layanan juga masuk. Kami dalam pledoi akan buktikan bahwa angkanya itu tidak benar. Bahwa uang yang masuk itu memang uangnya Unud bukan uang SPI,” jelasnya.
GPS berjanji, akan sertakan nanti dalam pledoi angkanya dari tahun ke tahun bahwa SPI sudah terserap menjadi sarana dan prasarana.
“Kalau tadi ada yang bilang 2 orang merasa keberatan, yang pasti ada ribuan yang sudah diterima. Kalau misalnya SPI dianggap sebagai pungli, maka bisa dibayangkan semua Perguruan Tinggi kita menerima pungli,” tutup GPS.
Tinggalkan Balasan