Denpasar – I Ketut Kesuma, SH sebagai Penasihat Hukum (PH) dari AA Ngurah Mayun Wiraningrat (Turah Mayun) ahli waris almarhum Cokorda Samirana alias Ida Tjokorda Jambe Pemecutan IX menyebut, akte jual beli (AJB) sebagai dasar peralihan hak dalam sertifikat hak milik (SHM) Nomor 1565 sebelumnya milik Laba Pura Merajan Satria berpindah tangan atas nama I Nyoman Suarsana Hardika alias Nyoman Liang yang terletak di jalan Badak Agung Utara, Sumerta Kelod, Denpasar Timur, diduga cacat hukum.
Pasalnya dikatakan, AJB sebagai dasar peralihan hak dari perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) tahun 2014 nomor 100 dan 101 dinyatakan telah gugur dan dibatalkan. Di mana, dari 23 orang sebagai pengempon Pura, dua di antara mereka sebagai prinsipal sudah meninggal saat ditingkatkan menjadi AJB alias pelunasan. Terlebih saat itu, dikabarkan tidak melibatkan ahli waris dari pihak yang telah tiada.
“Mereka kan menggunakan PPJB 100 dan 101 dalam PPJB tersebut ada dua orang yang sudah meninggal dan dibuatkan AJB tanpa melibatkan ahli waris yang patut. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1813 KUH Perdata, salah satu saja yang meninggal dalam kuasa itu menjadi gugur. Sehingga, PPJB itu mesti diperbarui lagi kalau digunakan,” ungkap I Ketut Kesuma kepada wartawan di Denpasar Bali, Sabtu (27/01/2024)
Lebih lanjut pengacara Ketut Kesuma menyinggung, bagaimana orang sudah meninggal 18 Februari 2023 (alm Cokorda Samirana, red) sebagai orangtua kliennya, setelah 7 bulan wafat bisa melanjutkan PPJB transaksi pelunasan tanah pada tanggal 27 September 2023 yang melahirkan AJB nomor 16.
“Ini kan ganjil, almarhum Ida Cokorda Samirana meninggal Februari 2023, sementara setelah 7 bulan beliau wafat, dibuatkan AJB No 16 pada tanggal 27 September 2023 tanpa melibatkan klien kami (Turah Mayun, red) sebagai ahli waris. Dengan dasar AJB ini diajukan ke BPN dan diterbitkan SHM peralihan hak pada tanggal 5 Januari 2024 tanpa ada pengukuran terlebih dahulu. Makanya kemarin ribut-ribut saat ada penembokan,” singgungnya.
Selain disebutkan telah gugur, Ketut Kesuma juga menyampaikan, PPJB nomor 100 dan 101 sebelumnya telah dibatalkan lewat akte nomor 184 dan 185 tahun 2015 di notaris sama. Pihaknya menilai, sementara penerbitan AJB No 16 di notaris berbeda dalam melihat kasus ini dirasa penuh dengan upaya penyelundupan hukum untuk merampas hak kliennya.
“Ini menarik, selain PPJB 100 dan 101 gugur ketika dijadikan AJB di notaris berbeda. Hal lebih penting harus diketahui, sebelumnya juga PPJB itu sudah dibatalkan berdasarkan akte nomor 184 dan 185. Nah, kan menjadi jelas, hak klien kami dirampas dengan cara melakukan penyelundupan hukum yang disinyalir bisa mengarah pidana dengan menempatkan keterangan palsu pada akte otentik,” pungkas Ketut Kesuma.
Sementara Made Dwiatmiko Aristianto, SH selaku PH Nyoman Liang membantah terkait keberadaan akte nomor 184 dan 185. Pihaknya mengaku tidak tahu menahu dan justru mempertanyakan siapa yang membuat.
“Kalau kita tidak pernah membuat akta itu. Kita selaku pembeli apa untungnya membuat akta tersebut? Kita membantah, kita tidak pernah membuat itu. Nanti silahkan dibuktikan saja di kepolisian kalau memang benar,” terang Miko.
Ia menegaskan, justru pihaknya akan melaporkan keberadaan akte 184 dan 185 sebagai akte palsu.
“Kita akan melaporkan sebagai akta palsu nanti,” tegasnya.
Disinggung terkait ada selentingan SHM atas nama kliennya disebut-sebut sebagai sertifikat abal-abal, ia meminta agar dibuktikan secara hukum dan bukan malah membuat persepsi negatif.
“Setahu kita, melakukan pembelian tanah, membayar tanah itu mendapatkan sertifikat dan sertifikat ini dikeluarkan oleh BPN, sudah dikaji dan diteliti oleh BPN itu sendiri. Abal-abalnya di mana? apakah kita membuat sertifikat itu di instansi lain selain BPN? Kan tidak, ini murni BPN yang mengeluarkan dan mengakui sah dan benar dari BPN. Masalah mereka mengatakan abal-abal harus menunjukkan dong bukti-buktinya. Kita orang hukum jangan berbicara tanpa dasar seperti itu,” jelasnya.
Miko berharap, kliennya agar bisa segera memanfaatkan lahan tersebut sebagai pemegang hak kepemilikan lahan atau tanah berdasarkan SHM peralihan jual beli.
“Kita berharap segera bisa menduduki tanah itu, mengelola tanah itu. Karena sebagai pembeli yang beritikad baik kami sudah membayar dan memiliki sertifikat atas tanah itu dan atas nama klien kami. Apa lagi kurangnya?,” harap Miko.
Tinggalkan Balasan