Jakarta (deliknews.com) – Pemerintah diminta memberikan insentif pada masyarakat kelas menengah, tidak hanya pada kelompok miskin seperti yang terjadi saat ini. Langkah tersebut penting untuk menjaga kestabilan dan mencegah gejolak sosial.

“Instrumen perlindungan sosial untuk kelas menengah perlu dipikirkan. Mereka tak tergolong miskin, tetapi guncangan ekonomi akan membawa mereka menjadi kelompok miskin,” kata mantan Menteri Keuangan Muhamad Chatib Basri dalam opininya dikutip Rabu (28/2/2024).

Dia mengatakan kelas menengah memang tidak punya banyak pilihan. Instrumen perlindungan sosial juga tidak memadai. Mereka tidak berhak akan bantuan sosial karena bukan termasuk kelompok miskin. “Mereka belum tentu memiliki akses untuk beasiswa Bidik Misi karena tak memiliki surat keterangan tidak mampu (SKTM),” kata  pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) ini.

Chatib mengatakan mereka juga harus membayar BPJS sendiri karena bukan bagian dari penerima bantuan iuran (PBI). “Fokus kebijakan ekonomi di banyak negara, termasuk Indonesia, praktis pada kelompok miskin, kelas menengah nyaris terabaikan,” kata dia.

Chatib memberikan contoh di Chile. Kinerja ekonomi Chile amat mengesankan. Pendapatan per kapitanya tertinggi di Amerika Latin, pertumbuhan ekonominya tercepat di Amerika Latin, dan tingkat kemiskinan menurun dari 53% (1987) menjadi 6% (2017)—lebih baik dibandingkan Indonesia. Chile memiliki Indeks Pembangunan Manusia terbaik di Amerika Latin.

Dampak dari tekanan ekonomi global dan lambatnya belanja pemerintah mulai terlihat pada konsumsi rumah tangga, khususnya kelompok menengah bawah.

Ironisnya, pada Oktober 2019 terjadi gejolak sosial yang nyaris menimbulkan revolusi. “Ekonom Sebastian Edwards menyebutnya ”The Chilean Paradox”. Mengapa? Salah satu penjelasannya adalah terabaikannya kelas menengah,” kata Chatib.