Surabaya (deliknews.com) – Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) Jawa Timur menyatakan pihaknya menolak kenaikan pajak reklame yang dianggap mencekik. Mereka sampaikan itu dalam Focus Group Discussion bersama Pemkot Surabaya soal Penyelenggaraan Reklame di Kota Surabaya di Bappedalitbang.

Dalam FGD tersebut, P3I Jatim menyatakan bahwa pihaknya akan berupaya untuk menerima kenaikan pajak reklame asalkan masih berada di ambang batas wajar bagi para pengusaha.

“Kami maunya yang seperti itu. Yang jelas aja. Kita ndak ada masalah. Oke lah naik maksimal. Meskipun menurut kajian kami pajak belum waktunya naik, meski sudah 14 tahun. Kalau toh harus naik paling ya 15%, notok (maksimal) 20%,” ujar Sekretaris Umum P3I Jatim Agus Winoto, Jumat (1/3/2024).

P3I Jatim menyebutkan bahwa diskusi yang digelar bersama pemkot ini menjadi angin segar atas kekhawatiran para pengusaha periklanan terhadap industri reklame yang akan terguncang karena pajak yang bertambah besar.

Pihaknya menyebut masih bisa menoleransi kenaikan pajak asalkan angkanya tidak sampai mencekik para pelaku usaha sampai harus gulung tikar. P3I Jatim tak ingin banyak pelaku usaha yang berbelok ke bisnis lain karena kenaikan pajak reklame ini.

“Di lapangan kami hitung sendiri secara riil fakta yang membuat industri ini tak bisa berdiri. Ya nggak apa-apa naik sampai 25% meskipun berat tapi masih bisa menoleransi. Secara garis besar teman-teman dalam diskusi tadi meski belum benar-benar sepakat tetapi bisa memahami ini. Jadi kami seperti mendapat angin segar,” katanya.

“Yang jelas kalau naik masih bisa membuat tumbuh industri ini. Karena banyak yang akhirnya mengundurkan diri belok ke bisnis lain karena situasi seperti ini,” kata Agus.

Agus berulangkali menekankan pihaknya akan berupaya untuk menerima kenaikan pajak reklame jika angkanya masih rasional. Hal ini disebut juga sebagai salah satu upaya untuk mendukung pembangunan di Kota Surabaya.

“Jangan sampai misalnya Anda bicara bahwa pajak ini naik 20%. Namun, setelah dihitung ada kenaikan hingga 350%. Awalnya, misalnya Rp 50 juta, melonjak menjadi Rp 350 juta. Misalnya seperti itu. Makanya kami minta yang jelas. Kami paham pemkot juga memerlukan pemasukan. Kami siap mendukung pembangunan. Namun, kalau lebih dari itu (25%), kami tidak mampu,” tandasnya.

Diskusi terkait rasionalisasi pajak reklame ini juga mendapat sorotan dari akademisi Unair sekaligus Ketua Laboratorium Pengkajian dan Pengembangan Akuntansi, Perpajakan, dan Sistem Informasi Elia Mustikasari. Dia sebut diskusi ini penting, apalagi dalam upaya merumuskan kebijakan.

“Dalam penyusunan Perwali yang mengatur pajak ini, harus melibatkan masyarakat yang terdampak dari kenaikan pajak ini,” ujar Elia. “Saat tarif itu diputuskan, pengusaha reklame harus tahu komponennya apa saja dan dasar perhitungannya dari mana? Itu harus jelas semua. Jangan sampai angka itu kemudian muncul gelodak begitu saja.”

“Pajak itu bukan zaman kolonial, pajak itu iuran bersama, dari kita untuk kita. Tentu pengusaha reklame ikut mendukung pembangunan namun tak boleh menetapkan hanya dari satu sisi pemerintah saja,” pungkas Elia.