SURABAYA – Sidang lanjutan perkara dugaan tindak pidana penipuan dan penggelapan dengan terdakwa mantan Direktur Utama PT. Garda Tematek Indonesia (GTI) Indah Catur Agustin kembali digelar di Pengadilan Negeri Surabaya dengan agenda eksepsi atau keberatan atas dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU). Selasa (21/5/2024).

 

Dalam eksepsinya, kuasa hukum dari terdakwa Indah Catur Agustin yang dalam hal ini terdiri dari Teguh Santoso Wibisono, Mun Arif dan Mardika menilai dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak lengkap dan cermat. Mereka meminta, agar kliennya dibebaskan dari segala tuntutan hukum.

“Peristiwa yang terjadi ini hubungannya hukum keperdataan antara perusahaan dengan Canggih Soleman. Dan, bukan merupakan perbuatan pidana. Sehingga, Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini agar melepaskan klien kami dari segala tuntutan hukum (Ontslag Van Rechtsvervolging),” ujar Mun Arif, salah satu kuasa hukum terdakwa Indah Catur Agustin saat membacakan eksepsinya.

 

Penasehat hukum dari kantor hukum Wijayanto Setiawan dan Partner ini mengatakan, kasus yang menjerat kliennya tersebut bermula dari adanya hubungan keperdataan berupa perjanjian kerjasama dibawah tangan antara PT. GTI dengan Canggih Soliemin, sehingga bentuk perbuatan hukum yang dipilih dan disepakati oleh para pihak adalah perbuatan hukum keperdataan, kontrak atau perjanjian yang dilindungi perundang-undangan.

“Sehingga karena tidak ada syarat subyektif dan obyektif yang dilanggar sesuai dengan kaidah didalam Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur tentang syarat sahnya suatu perjanjian,” katanya.

 

Lanjut Arif, Dalam perjanjian kerjasama disepakati bahwa Canggih Soliemin memberikan modal dan PT. GTI memberikan bagi hasil berupa keuntungan bunga sebesar 4 persen setiap bulan.

 

Bagi hasil sebesar 4 persen setiap bulan diperoleh Canggih dari pokok hutang dalam bentuk modal yang diberikan PT. GTI setiap bulan sehingga Canggih Soliemin dalam hal ini tidak terlibat secara langsung maupun tidak langsung pada operasional pada PT. GTI, sehingga kedudukan Canggih Soliemin adalah Kreditur murni dari PT. GTI.

 

Bahwa keuntungan pasti sebesar 4 persen tersebut pada faktanya tidak dihitung dari keuntungan PT. GTI Sehingga secara hukum uang-uang tersebut tidak dapat ditafsirkan sebagai bagian dari perjanjian kerjasama, melainkan perjanjian hutang piutang.

“Berdasarkan ketentuan Pasal 19 Ayat 2 UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang HAM Ayat 2 tidak seorangpun atas putusan Pengadilan boleh di Pidana penjara atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi kewajibannya dalam perjanjian hutang piutang,” lanjutnya.

 

Sisi lain Arif juga mengungkap fakta tidak adanya kerugian material dari Canggih Soliemin selaku Pelapor ketika meminjamkan uangnya kepada PT. GTI.

 

Sebab kata Arif, berdasarkan pencatatan perhitungan dan catatan Transaksi Keuangan yang dilakukan oleh PT. GTI dapat dibuktikan bahwa Canggih tidak mengalami kerugian materiil sebab total hutang hutang yang diberikan Canggih kepada GTI dalam kurun waktu 7 September hingga 23 Nopember 2021 adalah Rp. 19,5 miliar. Sedangkan uang pokok dan bagi hasil bunga yang telah diberikan PT. GTI kepada Canggih totalnya sebesar Rp.21,2 miliar. Sehingga Canggih telah mendapatkan keuntungan dari PT. GTI sebesar Rp.1,7 miliar.

“Apalagi antara Canggih Soliemin dan PT. GTI sepakat menandatangani Akta Nomer 12 Tanggal 16 Juni 2021 tentang Kuasa Untuk Menjual artinya para pihak menetapkan sistim sangsi atau hukuman jika terjadi peristiwa gagal bayar,” ungkapnya.

 

Pengacara Mun Arif dalam eksepsinya juga menilai Jaksa menyembunyikan fakta 12 transaksi hutang piutang antara Canggih Soliemin dengan PT. GTI yang tidak bermasalah. Sebaliknya Jaksa hanya mempersoalkan tentang 7 transaksi yang kurang bayar.

 

Meski fakta atas 7 transaksi yang dianggap bermasalah tersebut Canggih Soliemin telah menerima bagi hasil bunganya sebesar 4 persen sampai dengan Oktober 2022.

 

Pada Tanggal 30 Nopember 2022 antara PT. GTI dengan Canggih Soliemin menyepakati dan menyetujui Perjanjian Perdamaian atau Dading untuk mengakhiri sengketa yang terjadi.

 

Perjanjian perdamaian Tanggal 30 Nopember 2022 tersebut sah Yang tunduk pada Pasal 1851 KUHPerdata. Bahwa setelah dibuat dan ditandatangani perjanjian perdamaian diatas dalam faktanya terdakwa
Indah Catur Agustin telah menggunakan harta pribadinya senilai Rp.4,1 miliar untuk membayar kewajibannya kepada Canggih Soliemin sehingga Canggih Soliemin mendapatkan pengembalian keuntungan dengan total Rp.2,9 miliar.

“Dengan rincian. Total pengembalian hutang dan keuntungan bunga sebelum terjadi perjanjian perdamaian sebesar Rp. 1,7 miliar lebih, ditambah total pengembalian hutang dan keuntungan bunga setelah terjadi perjanjian perdamaian Rp. 1,1 Miliar lebih,” pungkas advokat Mun Arif di ruang sidang Garuda 2 PN. Surabaya.

 

Sebelumnya, terdakwa Indah Catur Agustin bersama-sama dengan terdakwa Greddy Hamando (berkas terpisah) di polisikan oleh kongsi bisnisnya yang bernama Canggih Soliemin dalam perkara dugaan penipuan dan penggelapan Rp.5,9 miliar dengan modus investasi modal usaha untuk memenuhi kebutuhan kain sprei merk King Koil. (firman)