Jakarta – Rencana pengadaan Kereta Cepat Jakarta Surabaya, dinilai kurang bisa maksimal mendukung peningkatan dan pemerataan ekonomi, dibandingkan jika pemerintah membangun jalur kereta api konvensional di luar Jawa.

Pengamat Transportasi Bambang Haryo Soekartono (BHS) menyampaikan pembangunan kereta api konvensional sebagai transportasi logistik dan angkutan massal penumpang pada pemerintahan Belanda sangat dikembangkan secara merata ke 4 pulau besar di Indonesia yaitu, Jawa, Sumatera, Kalimantan, bahkan Sulawesi hingga mencapai sekitar 7300 km panjang rel yang sudah terbangun saat itu. Sebagai contoh, di Sumatera sudah terbangun sekitar 2200 kilometer untuk merealisasikan Trans Sumatera dengan transportasi publik dan logistik massal saat itu.

“Saya mengharapkan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perhubungan, bisa mempertimbangkan untuk melanjutkan pembangunan sistem rel kereta api konvensional di luar Jawa sebagai prioritas, dibandingkan dengan pengadaan Kereta Api Cepat Jakarta – Surabaya,” kata BHS,Rabu (5/6)

Ia memaparkan, bila Kereta Api Cepat Jakarta – Bandung, yang berjarak sekitar 100 kilometer membutuhkan biaya Rp120 triliun, maka jarak Jakarta – Surabaya yang delapan kali jarak dari kereta cepat saat ini yang akan membutuhkan biaya delapan kali besar dari anggaran projek sebelumnya.

“Ini artinya pembangunan kereta cepat Jakarta – Surabaya membutuhkan sekitar Rp960 triliun. Bandingkan jika itu digunakan untuk membangun sistem rel kereta api konvensional di Sumatera yg belum terealisasi sepanjang 1300 km untuk target Trans Sumatera dari Lampung menuju Aceh. Bila biaya pembangunan rel kereta api per kilometer adalah Rp 40 miliar maka total biaya untuk menyelesaikan rel Trans Sumatera hanya sebesar 52 Triliun Rupiah. Dengan modal ini maka bisa terbangun rel kereta api Trans Sumatera.” Urainya.

BHS menambahkan, pemerintah juga bisa mengadakan tambahan 100 rangkaian kereta api (Rolling-Stock) seharga sekitar 100 Milyar per rangkaian atau total sekitar 10 Triliun Rupiah, dimana rangkaian kereta api terdiri dari rangkaian kereta penumpang kapasitas 10 gerbong, termasuk lokomotif. Serta sebagian bisa digunakan untuk kereta barang ( logistik ) dengan rangkaian 30 gerbong kereta barang, beserta lokomotifnya per rangkaian.

“Dengan manfaat itu, sudah bisa dipastikan kereta api konvensional mampu memindahkan jutaan penumpang tiap tahun serta seluruh logistik sumber daya alam (SDA) maupun Agriculture yang jumlahnya miliaran ton logistik per tahunnya dari hasil wilayah Sumatera,” ungkapnya.

Ia menekankan bila anggaran kereta api cepat tersebut juga sebagian kecil digunakan untuk membangun sistem kereta api di wilayah Indonesia yang lainnya, seperti Trans Sulawesi sepanjang 1750 Km dengan biaya kilometer panjang rel tidak lebih dari 60 Triliun Rupiah. Maka ekonomi di Pulau Sulawesi akan berkembang pesat dengan adanya logistik sumber daya alam seperti agrikultur dalam jumlah miliaran ton dan penumpang jutaan per tahun dapat diangkut oleh transportasi massal kereta api di Sulawesi. tentu lebih efektif dan murah dibanding pembangunan kereta cepat Jakarta – Surabaya.

“Dengan biaya yang tidak lebih dari 200 triliun, Trans Sumatera dan Trans Sulawesi dapat terealisasi untuk membangun ekonomi di sekitar 10 provinsi di Sumatera dan 6 Provinsi di Sulawesi, sehingga pertumbuhan ekonomi akan menggeliat, dan tentu akan terjadi pemerataan ekonomi akibat adanya transportasi publik massal tersebut. Karena yang lebih bisa menumbuhkan ekonomi adalah perpindahan logistik yang cepat dalam jumlah besar daripada perpindahan penumpang.” Ujar BHS

Ia menyampaikan betapa pentingnya sistem kereta api di wilayah seperti di Provinsi Aceh dimana untuk antisipasi pembangunan infrastruktur pelabuhan yg terintegerasi wilayah industri yang akan dilakukan bertujuan untuk kompetisi dengan negara sebelah seperti Singapura dan Malaysia yang telah lama menguasai sebagian besar logistik di wilayah selat Malaka dan selat Sunda sebagai ALKI 1.

“Dengan potensi pasar Singapura dan Malaysia masing – masing 30 juta Teus/Tahun dan ditambah wacana pembangunan selat Kra di Thailand, maka kita harus berusaha mengambil pasar tersebut dengan membuat sistem transportasi kereta api di Sumatera guna membawa bahan mentah (raw material) menuju industri penghasil bahan jadi di Sumatera dan didistribusikan ke Jawa dan wilayah domestik maupun ekspor setelahnya,” paparnya.

Ia menegaskan pemerintah diharapkan meninjau kembali untuk memprioritaskan kereta api konvensional sebagai transportasi massal di seluruh wilayah Indonesia, karena perpindahan logistik maupun penumpang dengan jumlah jauh lebih besar untuk pemerataan ekonomi seluruh Indonesia, baru setelahnya membangun kereta cepat Jakarta – Surabaya yang tentu juga dapat menoreh nama Indonesia di kalangan dunia sebagai negara pertama di Asia Tenggara yang memiliki kereta cepat.

“Setelah kereta api seluruh Indonesia tercukupi, baru kita bicara soal kereta cepat untuk Jakarta – Surabaya,” Pungkas Politisi Gerindra yang akan dilantik menjadi anggota DPR di Bulan Oktober ini.