Jakarta – Pemerintah berencana menaikkan cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 10%. Kenaikan ini dinilai berdampak ganda hingga ancaman tergerusnya perekonomian masyarakat.

Dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025 memang disebutkan, intensifikasi kebijakan tarif CHT melalui tarif bersifat multiyears bakal kembali dilakukan pada 2025.

Menanggapi hal itu. Pengamat Kebijakan Publik, Bambang Haryo Soekartono, menyampaikan cukai rokok yang tinggi memiliki dampak berganda (multiplier effect) pada penghidupan masyarakat luas, seperti menggerus pemasukan UMKM yang berhubungan dengan rokok.

“Misalnya warteg, warkop, dan sebagainya itu sangat bergantung kepada penjualan rokok, Jadi, (kalau harga rokok mahal) mereka akan tergerus (pendapatannya) karena menurunnya kemampuan membeli rokok,” imbuhnya.

Menurut Bambang, tingginya tarif CHT juga akan mengancam kestabilan pabrik-pabrik rokok di Indonesia. Jika dibiarkan, ia mengkhawatirkan nasib karyawan di IHT yang berjumlah hingga 5,8 juta jiwa. Ujungnya akan berdampak pula bagi lingkungan yang lebih luas.

Bambang Haryo saat memberikan keterangan kepada Media/Istimewa

“Kalau IHT benar-benar tergerus, dampak multiplier lingkungannya itu lebih dari 5,8 juta karyawan di IHT ini. Misalnya, ada yang tinggal di kos-kosan, nanti tempat makan mereka di samping kanan kirinya dan lain-lain itu akan tergerus juga. Belum lagi para petani tembakau ini pasti kena dampak,” jelasnya.

Untuk itu, Bambang berharap agar cukai rokok tidak lagi mengalami kenaikan yang signifikan pada tahun depan. Menurutnya, jumlah kenaikan double digit yang selama ini diterapkan tidak relevan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi pada 2025 yang masih di bawah 10%. “Ini dampaknya banyak, apalagi pertumbuhan ekonomi saja masih di 5 persenan, sementara cukai (rokok) naik di atas 10 persen terus.  Itu dampak inflasinya juga besar. Kenaikan 10 persen cukai itu, inflasinya waduh,” terangnya.

Ke depannya, Bambang meminta pemerintah untuk menetapkan kebijakan cukai yang ideal dan berimbang pada IHT dengan melakukan diskusi terlebih dahulu dengan berbagai pihak yang terdampak sebelum menetapkan tarif cukai. “Pemerintah harusnya ada rembukan dengan perwakilan dari masyarakat, misalnya asosiasi pengguna rokok, asosiasi pengusaha rokok. Jadi ini harus dirembuk sama masyarakat dong. Jadi bukan ditentukan kenaikannya begitu saja,” tutupnya.