SURABAYA – Sidang kasus dugaan memasuki rumah tanpa izin dan pengrusakan dengan terdakwa Wirjono Koesoema alias Aseng memasuki tahap akhir.

Persidangan kasus dugaan kejahatan terhadap ketertiban umum yang menjerat terdakwa Wirjono Koesoema di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya masih menyisakan sejumlah fakta yang belum sepenuhnya terungkap.

Deddy Otto, kuasa hukum Simon Effendi selaku pelapor mengungkapkan sejumlah fakta tersebut. Salah satu fakta yang diungkapkan adalah terkait gugatan perdata yang pernah diajukan oleh Wirjono terkait sengketa rumah di Jalan Lebak Jaya 3 Utara Nomor 30-A Surabaya.

“Dalam putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) dengan nomor 3725 K/Pdt/2020, gugatan perdata Wirjono dinyatakan ditolak untuk seluruhnya. Dalam pertimbangan putusan, Mahkamah Agung menyatakan bahwa Simon telah melakukan pembayaran sebesar Rp 868 juta kepada Wirjono, dari total yang harus ditransfer sebesar Rp 958 juta karena dikurangi dari kewajiban Wirjono yaitu denda keterlambatan, biaya pengosongan dan mengurus SPPT-PBB,” ujar Eddy Otto kepada wartawan, Senin (19/8/2024).

Meskipun gugatannya ditolak, Wirjono kembali mengajukan gugatan perdata terhadap Simon dengan nomor perkara 631/Pdt.G/2021/PN Sby. Namun, gugatan tersebut juga ditolak oleh majelis hakim pada 13 april 2022. Alih-alih mengajukan banding, Wirjono justru diduga melakukan tindakan penguasaan rumah secara paksa dan melawan hukum.

Menurut Dedy, kewajiban-kewajiban dari terdakwa Wirjono tersebut sudah tertera dalam Pasal 2 PPJB Nomor 79 tanggal 23 Januari 2015 juga ada dalam Pasal 2 Perjanjian Pengosongan.

“Dua akta tersebut telah disepakati bersama. Oleh sebab itu di dalam pertimbangan Mahkamah Agung dinyatakan ada kewajiban-kewajiban dari Wirjono, yakni  SPPT-PBB, Beaya Pengosongan dan Denda. Kalau Wirjono membaca isi putusan Mahkamah Agung tersebut, maka akan jelas mengapa harus dibayar Rp.868 Juta. Jadi bukan asumsi sebab bukti buktinya lengkap dapat dilihat pada daftar bukti yang telah diajukan oleh para pihak,” lanjutnya.

Sementara itu, Andreas, salah satu saksi dalam persidangan mengatakan bahwa perkara ini sebenarnya sederhana, namun menjadi rumit karena sikap Wirjono yang tidak menghormati putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Andreas menjelaskan bahwa dalam pertimbangan putusan kasasi telah dijelaskan seluruhnya termasuk adanya kewajiban dari Wirjono, sehingga muncul nominal Rp 868 juta yang kemudian telah ditransfer oleh Simon.

“Pak Simon juga telah melakukan pembayaran secara transfer sebesar Rp 868 juta ke Wirjono, namun pada hari berikutnya uang Rp 868 juta tersebut ditransfer balik oleh Wirjono. Kemudian Pak Simon mengajukan konsinyasi uang tersebut ke PN Surabaya, upaya konsinyasi uang itu juga ditolak oleh Wirjono,” jelas Andreas.

Saat Simon diperiksa sebagai saksi di persidangan pada 24 Juli 2024, majelis hakim memerintahkan agar Simon kembali mentransfer uang Rp 868 juta yg dimohonkan untuk konsinyasi tersebut kepada Wirjono.

“Beberapa hari kemudian pada 31 Juli 2024 Pak Simon telah melakukan transfer sesuai perintah hakim, namun uang itu ditransfer balik lagi oleh Wirjono pada 12 Agustus 2024. Kemudian tanggal 15 Agustus 2024 uang tersebut sudah ditransfer kembali ke rekening Wirjono,” ungkap Andreas.

Andreas mengaku heran dengan sikap Wirjono yang enggan menerima uang tersebut, padahal nominal tersebut sudah sesuai dengan putusan kasasi.

“Kami bertanya-tanya apa motivasi sebenarnya di balik tindakan ini, mengingat negara kita adalah negara hukum yang harus menghormati putusan pengadilan,” tambahnya.

Ia berharap agar Wirjono bisa menghormati putusan kasasi dan menyelesaikan sengketa ini dengan baik.

“Dalam kasus ini, Pak Simon telah mengikuti seluruh prosedur hukum dan perintah pengadilan. Ia berharap agar Wirjono juga menghormati hukum dan putusan yang telah inkracht, agar sengketa ini dapat diselesaikan dengan baik tanpa perlu berlarut-larut,” pungkas Andreas. (firman)