KISARAN – Konsep Restorative Justice (RJ) semakin mendapat perhatian dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Pendekatan ini dianggap sebagai solusi alternatif dalam penyelesaian perkara pidana ringan, dengan mengutamakan pemulihan korban serta tanggung jawab pelaku.
Advokat Hendra Gunawan, S.H., M.H., dari Firma Hukum Hendra Gunawan, menilai bahwa penerapan keadilan restoratif oleh kepolisian dapat memberikan manfaat besar bagi masyarakat.
Dalam keterangannya, Hendra Gunawan menjelaskan bahwa Restorative Justice telah diatur dalam Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perpol) Nomor 8 Tahun 2021. Peraturan ini memberikan ruang bagi penyelesaian perkara pidana tanpa harus berlanjut ke proses pengadilan.
“Restorative Justice adalah pendekatan yang lebih humanis dan berorientasi pada perdamaian. Jika dilakukan dengan benar, ini bisa mengurangi beban pengadilan dan memberikan keadilan yang lebih cepat bagi korban,” ujar Hendra Gunawan saat ditemui di kantornya, Sabtu (15/2/2025).
Menurutnya, terdapat beberapa syarat utama agar suatu perkara bisa diselesaikan melalui Restorative Justice di tingkat kepolisian, antara lain:
- Bukan tindak pidana berat – RJ hanya dapat diterapkan pada tindak pidana ringan, seperti pencurian kecil, penganiayaan ringan, dan perbuatan tidak menyenangkan.
- Ancaman hukuman tidak lebih dari 5 tahun – Perkara yang dapat diselesaikan dengan RJ umumnya memiliki ancaman pidana tidak lebih dari 5 tahun penjara.
- Pelaku bukan residivis – Pelaku harus merupakan pelaku pertama dan bukan seorang residivis.
- Adanya kesepakatan antara korban dan pelaku – Penyelesaian harus melibatkan perdamaian dan kesepakatan tertulis antara kedua belah pihak.
- Tidak menimbulkan keresahan di masyarakat – Kasus yang diselesaikan dengan RJ tidak boleh menimbulkan dampak sosial yang luas atau menimbulkan gangguan ketertiban umum.
Lebih lanjut, Hendra Gunawan menekankan bahwa Restorative Justice tidak hanya menguntungkan korban dan pelaku, tetapi juga bagi sistem peradilan secara keseluruhan.
“Dalam banyak kasus, korban seringkali hanya ingin mendapatkan pemulihan atas kerugian yang mereka alami, bukan sekadar menghukum pelaku. Dengan pendekatan ini, kepolisian dapat menyelesaikan kasus secara lebih efektif dan efisien,” tambahnya.
Dari sisi prosedural, kepolisian harus memastikan adanya mediasi penal yang melibatkan korban, pelaku, serta penyidik. Jika kesepakatan tercapai, maka penyidik dapat menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) sebagai dasar hukum penghentian perkara.
Meski begitu, Hendra Gunawan mengingatkan bahwa penerapan Restorative Justice tetap harus dilakukan dengan pengawasan ketat agar tidak disalahgunakan. “Penting bagi aparat penegak hukum untuk memastikan tidak ada intervensi yang merugikan salah satu pihak, terutama korban,” tutupnya.
Dengan semakin banyaknya kasus yang bisa diselesaikan melalui pendekatan ini, diharapkan Restorative Justice dapat menjadi solusi yang efektif dalam menciptakan keadilan yang lebih inklusif dan berimbang bagi masyarakat Indonesia.