Jakarta – Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Gerindra, Bambang Haryo Soekartono, menegaskan bahwa profesionalisme dan transparansi dalam tata kelola Bahan Bakar Minyak (BBM) oleh Pertamina merupakan pilar penting dalam mendukung pengembangan sektor industri nasional.

Menurut Bambang Haryo, tata kelola yang bersih dan akuntabel akan berdampak langsung pada efisiensi biaya energi yang dibutuhkan industri, serta memperkuat daya saing produk Indonesia di pasar global.

“Kami sangat mendukung langkah Presiden Prabowo Subianto yang mulai membenahi Pertamina sebagai bagian dari upaya mempercepat pembangunan nasional dan mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen,” ujar Bambang Haryo dalam keterangan tertulisnya, Senin (3/3).

Bambang Haryo turut mengapresiasi kinerja positif Pertamina di bawah kepemimpinan Simon Aloysius Mantiri, yang resmi menjabat sebagai Direktur Utama Pertamina sejak 4 November 2024. Ia menyebutkan bahwa kepemimpinan baru ini menunjukkan keberanian dalam mengungkap berbagai kesalahan tata kelola di internal perusahaan, khususnya di Pertamina Patra Niaga.

“Apa yang dilakukan manajemen baru Pertamina saat ini adalah bagian dari upaya pembersihan menyeluruh di sektor migas. Pengungkapan kasus yang terjadi di Patra Niaga menjadi langkah awal untuk memastikan tata kelola energi yang lebih transparan ke depan,” kata Bambang Haryo.

Lebih lanjut, Bambang Haryo menjelaskan bahwa perbaikan tata kelola di Pertamina akan berdampak langsung pada sektor industri di Indonesia. Ia menekankan bahwa biaya energi dan logistik yang efisien akan memperkuat daya saing industri nasional.

“Ketersediaan BBM berkualitas dengan harga yang wajar akan membantu menekan biaya produksi dan biaya logistik. Ini sangat penting, terutama untuk industri di daerah terpencil yang selama ini kerap menghadapi kelangkaan pasokan BBM,” tuturnya.

Bambang Haryo juga menyoroti pentingnya peningkatan akses distribusi BBM di wilayah-wilayah yang sulit dijangkau. Menurutnya, keterbatasan pasokan BBM di beberapa daerah kerap menyebabkan antrean panjang dan menghambat kelancaran distribusi barang.

“Kalau distribusi logistik terhambat akibat sulitnya memperoleh BBM, dampaknya akan berantai. Biaya pengiriman naik, waktu tempuh bertambah, dan risiko kerusakan barang semakin tinggi. Dengan distribusi BBM yang lebih baik, sektor industri akan lebih efisien dan kompetitif,” jelasnya.

Dukung Audit Pertamina

Sebagai bentuk komitmennya mendukung tata kelola yang bersih, Bambang Haryo menyatakan dukungan penuh terhadap pelaksanaan audit menyeluruh terhadap Pertamina. Audit tersebut diharapkan dapat mengungkap berbagai kelemahan sistem yang selama ini menghambat kinerja Pertamina dan menjadi dasar perbaikan menyeluruh.

Bambang Haryo juga mendorong Pertamina untuk belajar dari perusahaan migas negara lain, seperti Petronas Malaysia, yang dinilainya berhasil menyalurkan BBM berkualitas dengan harga lebih terjangkau hingga ke wilayah pedalaman.

“Petronas mampu menjual Diesel Euro 5 dengan harga sekitar 0,7 dolar AS per liter atau setara Rp11.750 per liter, jauh lebih murah dibandingkan Pertamina Dex Euro 4 yang dijual seharga Rp14.600 per liter. Bahkan, BBM bersubsidi RON 95 di Malaysia dijual hanya sekitar Rp7.000 per liter, sementara Pertalite RON 90 di Indonesia yang mendapat subsidi lebih besar justru dijual di kisaran Rp10.000 per liter,” paparnya.

Bambang Haryo menilai selisih harga dan kualitas BBM tersebut menjadi tantangan besar bagi Pertamina. Menurutnya, Pertamina harus mampu meningkatkan efisiensi operasional dan memperluas cakupan layanan hingga ke pelosok Nusantara, sebagaimana yang dilakukan Petronas di Malaysia.

“Ini bukan sekadar soal harga, tapi bagaimana memastikan seluruh rakyat, termasuk di wilayah kepulauan dan terpencil, mendapatkan BBM berkualitas dengan harga yang wajar. Ini sejalan dengan arahan Presiden Prabowo, bahwa pemerintah hadir untuk menyejahterakan rakyat, bukan membebani mereka,” tegas Bambang Haryo.

Kasus Korupsi Pertamina

Sebelumnya, Kejaksaan Agung mengungkap kasus dugaan korupsi terkait tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018-2023. Dalam kasus tersebut, PT Pertamina Patra Niaga diduga membeli Pertalite untuk kemudian dioplos menjadi Pertamax di fasilitas depo, dengan pembelian menggunakan harga Pertamax.

Bambang Haryo berharap, pengungkapan kasus ini menjadi momentum bagi Pertamina untuk berbenah secara menyeluruh, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap BUMN energi tersebut dapat kembali pulih.