SURABAYA – Terdakwa Sri Endah Mudjiati sesenggukan di ruang sidang Tirta 2 Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, saat menjalani sidang pemeriksaan terdakwa atas kasus dugaan kejahatan terhadap ketertiban umum sesuai Pasal 167 Ayat (1) KUHP atau 385 Ayat (1) KUHP. Kamis (13/3/2025).

Endah tak mempu membendung air matanya saat menjelaskan kasus hukum yang mendudukkan dirinya sebagai terdakwa dihadapan ketua majelis hakim Erly Soelistyarini, hakim anggota I Jahoras Siringo-ringo, hakim anggota II Darwanto.

Pada tanggal 14 Juni 2013, terdakwa Endah bersama suaminya datang ke Hotel Kenongo, Surabaya untuk tujuan meminjam uang sebesar Rp.500 juta dengan jaminan tanah dan bangunan di Jalan Jemursari VIII No. 130 Surabaya (Jl. Wonocolo VII No. 31 Surabaya),  SHM No. 710 atas nama Terdakwa sendiri yakni Sri Endah Mudjiati.

“Kemudian saya dan suami saya diajak menemui Notaris (alamarhum) dan disuruh tanda tangan Akta. Karena percaya, saya tanda tangani saja Akta itu tanpa membaca isinya,” kata Endah.

Di Notaris (alamarhum) terdakwa Endah mengetahui kalau permohonan hutangnya yang Rp. 500 Juta, ternyata disetujui sebesar Rp. 400 juta.

“Namun karena ditransfer hanya Rp. 368,5  juta dan masih kurang Rp.31,5 juta, Saya pun menelepon Sulasmitri untuk diberikan perinciannya. Sulasmitri mengatakan  untuk bayar bunga 6 persen dan biaya Notaris. Tapi ketika saya minta diberikan tanda terima penyerahan sertifikat, teleponnya langsung ditutup sama Sulasmitri,” lanjut Endah.

Terdakwa Endah pun setuju dan tidak keberatan. Bunga 6 persen perbulan dari hutang sebesar Rp.400 juta, ketemj sekitar Rp.24 juta. Terdakwa Endah juga mengklaim kalau dalam utang piutang itu ia tidak dibebankan bunga dan tidak ada jatuh temponya.

“Bulan Juli 2018, saya membayar cicilan hutang sebesar Rp. 10 juta. Bulan September 2018 Rp. 8 juta. Setelah itu saya tidak bisa lagi membayar. Selanjutnya saya berkali-kali didatangi dan ditagih oleh Pak Tomi,” ungkap Endah.

Karena tidak pernah membayar cicilan hutangnya lagi selama 3 tahun. Terdakwa Endah pada tahun 2016 disuruh The Tomy datang ke kantornya yang ada di hotel Kenongo untuk diajak ke Notaris Sujadi di Sukomanunggal, Surabaya.

“Tujuannya untuk memindahkan hutang saya dari Sulasmitri ke Pak Tomy sendiri. Pak Tomy bilang takut kalau terjadi apa-apa sebab memakai namanya Sulasmitri. Saya ingat pernah mendapat telepon dari Ibu Sajinah, istri dari Notaris yang almarhum, ternyata hutang saya yang pertama di Hotel Kenongo itu dengan Sulasmitri, bukan dengan Pak Tomy,” ujar Endah.

Dalam perjalanan ke Notaris Sujadi di jalan Sukomanunggal, The Tomy sempat menyarankan, kalau dia tidak bisa membayar, maka rumahnya dijual saja untuk membayar. The Tomy berkata begitu sambil memberikan contoh ada yang tidak bisa membayar, maka rumahnya dijual.

“Pak Tomy juga bilang, ibu manut saja. Tidak akan bisa menang lawan saya. Tiba di kantor Sujadi di jalan Sukomanunggal, Pak Tomi mengatakan, Bu hutangnya ini dari tahun 2013 sampai tahun 2016 jumlahnya sudah Rp.1,1 miliar. Mendengar itu saya menangis merasa tertekan,” ungkap Endah.

Setelah itu, terdakwa Endah dan suaminya diberikan kwitansi kosongan oleh The Tomy dan disuruh tanda tangan dari hutang Rp.400 Juta menjadi Rp.500 Juta.

“Seingat saya ada 2 Akta yang saya tanda tangani. Tapi saya tidak baca itu Akta-Akta apa saja,” sambung Endah.

Di dalam persidangan, terdakwa Endah mengaku kalau 2 Tahun sebelum berhutang kepada The Tomy, ia pernah menjual sebagian tanahnya kepada orang lain yang bernama Joni.

“Mengetahui hal itu, Pak Tomi malah bilang, berarti tanah Joni gandeng dengan tanah saya, sebab masih Satu Sertifikat,” ujar Endah.

Ditanya oleh ketua majelis hakim, sejak kapan saudara mengetahui kalau sertifikatnya sudah dibalik nama,?

“Saya ketahui sejak ditunjukkan oleh penyidik Polrestabes Tahun 2021,” jawab terdakwa Endah.

Selama Tahun 2016 sampai 2021, ada apa tidak usaha saudara untuk melakukan pembayaran? Tanya ketua majelis hakim. Atas pertanyaan itu, terdakwa Endah hanya diam tidak memberikan jawaban.

Berkaitan dengan adanya balik nama itu, ada apa tidak saudara mengajukan gugatan? Tanya ketua majelis hakim dengan sabar.

“Ada yang mulia, ke Pengadilan Negeri Surabaya secara perdata. Tapi saya cabut. Alasannya bukti yang saya pegang tidak ada. Tidak ada sama sekali,” jawab terdakwa Endah.

Terdakwa Endah juga menyebut pernah menerima somasi untuk pengosongan dari The Tomy.

Masih berkaitan dengan sidang pemeriksaan terdakwa, ternyata hakim anggota I, lebih memilih mengingatkan kejujuran terdakwa dalam memberikan keterangannya, tidak usah berbelit-belit  berusaha berkelit.

Hakim anggota I kemudian menghitung, dari Tahun 2013 hingga Tahun 2025 sudah 12 Tahun terdakwa Endah tidak membayar hutangnya kepada The Tomy.

12 tahun dikali 12 bulan sama dengan 144 bulan, kalau dikali 6 persen berarti sudah hampir 9 kali lipat hutang saudara kepada Pak Tomy. Kalau pinjamanmu Rp.400 juta, berarti 9 dikali Rp.400 juta sama dengan Rp.3,6 miliar. Apakah saudara sanggup membayar semua itu? tanya hakim anggota I.

“Saya tidak sanggup yang Mulia,” jawab terdakwa Endah.

“Jadi bagaimana. Apa mungkin uangnya The Tomy hilang begitu saja. Makanya saudara harus memakai hati,” imbuh hakim anggota I.

Hakim anggota I juga mempertanyakan prilaku dari terdakwa Endah yang sama sekali tidak membaca apapun pada saat penandatanganan Akta.

“Aneh kali, judulnya pun tidak saudara baca. Menurut saya itu kurang meyakinkan, saudara tanda tangan tapi tidak membaca judulnya. Itu tidak masuk logika,” ucap hakim anggota I.

Apakah saudara dipaksa sama The Tomy untuk tanda tangan Akta?

“Tidak yang mulia,” jawab terdakwa Endah. (firman)