Jakarta – Pemerintah tengah menyiapkan berbagai kebijakan guna memastikan kelancaran arus mudik Lebaran 2025. Salah satu langkah yang diambil adalah pembatasan operasional angkutan barang selama 16 hari, mulai 24 Maret hingga 8 April 2025.

Namun, kebijakan ini menuai kritik dari Anggota Komisi VII DPR RI, Fraksi Gerindra, Bambang Haryo Soekartono, yang menilai langkah tersebut berpotensi menghambat distribusi logistik dan berdampak negatif pada perekonomian.

“Pembatasan ini bisa menyebabkan kelangkaan barang dan mendorong inflasi, sehingga masyarakat akan kesulitan mendapatkan kebutuhan pokok bahkan setelah Lebaran,” ujar Bambang Haryo, Jumat (14/3/2025).

Menurutnya, setelah periode libur panjang, industri akan bergerak serentak untuk mendistribusikan hasil produksi yang sempat tertahan. Hal ini berisiko menimbulkan kemacetan dan kelangkaan transportasi logistik akibat penumpukan barang yang harus segera dikirimkan.

“Ketika larangan berakhir, semua sektor industri akan bergerak bersama menyalurkan produk mereka yang sempat tertahan. Akibatnya, kemacetan tidak terhindarkan dan transportasi logistik akan kewalahan,” tambahnya.

Lebih lanjut, Bambang Haryo menilai kebijakan ini bertentangan dengan target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto.

“Pertumbuhan ekonomi akan terhambat jika pergerakan logistik diperlambat selama 16 hari. Kita justru harus mendorong distribusi barang agar ekonomi tetap berjalan optimal,” tegasnya.

Ia juga menyoroti beberapa kebijakan pemerintah yang dinilai cukup efektif dalam mengurai kepadatan pemudik. Di antaranya, perpanjangan libur sekolah dari 21 Maret hingga 8 April 2025 oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), kebijakan Work From Anywhere (WFA) satu bulan sebelum Lebaran oleh Kementerian Perhubungan, serta percepatan pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) paling lambat H-7 Lebaran.

“Kebijakan ini memungkinkan pemudik untuk lebih fleksibel dalam menentukan waktu perjalanan mereka, sehingga potensi kemacetan bisa dikurangi,” ungkapnya.

Selain itu, pemerintah juga meningkatkan program mudik gratis dengan kapasitas angkutan laut naik tiga kali lipat menjadi 60.212 kursi, tiket transportasi publik bertambah menjadi 781.723 tiket, angkutan darat meningkat menjadi 520 bus dengan kapasitas 21.536 kursi, dan kereta api tersedia sebanyak 2.550 unit dengan total 4.568.838 kursi.

“Dengan tambahan fasilitas transportasi ini, kendaraan pribadi yang melintas di jalan raya pasti berkurang, sehingga kepadatan lalu lintas tidak akan separah yang dikhawatirkan,” ujarnya.

Bambang Haryo juga menekankan bahwa kemacetan saat mudik hanya terjadi di beberapa jalur utama di Pulau Jawa, terutama di jalur utara. Sementara di luar Jawa, seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Papua, arus lalu lintas cenderung lancar.

“Seharusnya, kebijakan pembatasan angkutan barang tidak diberlakukan secara menyeluruh. Jika kemacetan hanya terjadi di Jawa, maka aturan ini cukup diterapkan di wilayah tersebut saja. Banyak daerah yang masih membutuhkan kelancaran distribusi barang, terlebih bagi wilayah yang terdampak bencana,” paparnya.

Ia menambahkan bahwa pemerintah sebenarnya memiliki opsi lain untuk mengatasi kemacetan tanpa perlu melarang angkutan barang beroperasi.

“Kita memiliki tiga jalur utama di Pulau Jawa, yaitu jalur utara, tengah, dan selatan, serta jalur tol yang bisa dioptimalkan. Saat ini, jalur selatan baru digunakan sekitar 20 persen saat mudik, sementara jalur tengah dan tol masih relatif longgar,” jelasnya.

Bambang Haryo juga mengusulkan agar pemerintah mengatur pola perjalanan dengan sistem yang lebih fleksibel, baik untuk kendaraan pribadi maupun angkutan barang. Selain itu, jalur kereta api di wilayah selatan juga bisa dimanfaatkan lebih maksimal guna mengurangi beban jalan raya.

“Saya berharap pemerintah dapat mengevaluasi ulang kebijakan ini agar tidak menghambat roda ekonomi dan tetap menjamin kelancaran arus logistik selama periode Lebaran,” pungkasnya.