Jakarta – Rencana pemerintah menaikkan tarif tol di 36 ruas jalan menuai kritik dari kalangan legislatif. Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Gerindra, Bambang Haryo Soekartono, menyatakan bahwa kebijakan tersebut seharusnya melibatkan para pengguna jalan dan dilakukan secara transparan dengan dasar kajian yang matang.

Menurut Bambang, para pengguna jalan tol seperti perusahaan logistik, pelaku industri, serta lembaga konsumen seperti YLKI, seharusnya dilibatkan dalam proses penentuan tarif. Ia menilai pengelola jalan tol perlu membuka variabel perhitungan tarif kepada publik agar tidak menimbulkan kesan sepihak.

“Seharusnya pengguna jalan, asosiasi seperti perusahaan forwarder, industri, hingga YLKI itu dilibatkan dalam melakukan kajian pada tarif. Pihak pengelola jalan tol harusnya transparan terhadap variabel penghitungan dalam penentuan tarif,” ujar Bambang, Senin (21/4).

Ia juga menyoroti bahwa tarif tol di Indonesia tergolong mahal dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Ia membandingkan tarif tol di Indonesia yang diklaimnya bisa tiga kali lipat lebih mahal dari Malaysia, padahal kualitas infrastruktur yang ditawarkan tidak sebanding.

“Jika kita bandingkan dengan Malaysia, harga tarif tol Indonesia itu tiga kali lipat lebih mahal. Padahal, pembangunan jalan tol itu kan sebagian juga dibiayai oleh APBN. Artinya, tarif jalan tol Indonesia seharusnya bisa lebih murah,” jelasnya.

Bambang juga mengkritisi kualitas jalan tol di Indonesia yang menurutnya tidak memenuhi standar minimum. Ia menilai penggunaan rigid pavement tanpa pelapisan aspal adalah praktik yang membahayakan keselamatan pengendara.

“Jalan tol di Indonesia banyak yang hanya menggunakan semen beton kasar sebagai permukaan utama. Padahal itu hanya lapisan dasar. Harusnya ada pelapis aspal setebal 5 cm. Ini sangat membahayakan keselamatan transportasi,” tegasnya.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa pemanfaatan jalan tol oleh kendaraan logistik dan angkutan umum masih sangat rendah. Hanya sekitar 2,5 persen kendaraan logistik dan 5 persen angkutan penumpang bus yang menggunakan tol, sisanya lebih memilih jalan umum.

“Jadi apa manfaatnya membangun jalan tol, kalau tidak dimanfaatkan untuk percepatan pergerakan logistik dan angkutan massal? Percuma kalau hanya dipakai kendaraan pribadi,” katanya.

Bambang juga mendorong pemerintah untuk melakukan audit independen terhadap pengelola jalan tol dan membuka hasilnya kepada publik. Audit tersebut, menurutnya, perlu melibatkan berbagai pihak, termasuk asosiasi transportasi dan konsumen, guna memastikan tarif yang ditetapkan benar-benar sesuai kondisi lapangan.

“Saya minta audit independen ini dibuka ke publik agar masyarakat tahu transparansi biaya jalan tol. Infrastruktur itu harusnya tarifnya murah, karena tujuannya untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, bukan mencari keuntungan semata,” ujarnya.

Menutup pernyataannya, Bambang meminta pemerintah mengevaluasi masa konsesi pengelolaan jalan tol yang telah habis dan menurunkan tarif pada ruas yang telah lama beroperasi. Ia juga menyinggung banyaknya kondisi jalan tol yang tidak layak pakai, seperti bergelombang dan berlubang, yang seharusnya menjadi alasan penurunan tarif, bukan sebaliknya.

“Kalau jalan tol sudah tidak sesuai standar pelayanan minimum seperti diatur dalam UU Jalan Nomor 38 Tahun 2004, seharusnya tarif diturunkan. Banyak jalan tol di Sumatra yang bergelombang, bahkan rusak parah. Ini semua bisa jadi pelanggaran yang membahayakan keselamatan,” pungkasnya.