Jakarta — Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Gerindra, Bambang Haryo Soekartono, menyoroti lemahnya pengawasan pihak regulator dalam menanggulangi permasalahan truk Over Dimension Over Load (ODOL), yang belakangan ini kerap menjadi penyebab kecelakaan lalu lintas di berbagai wilayah Indonesia.
Menurut Bambang Haryo, akar permasalahan ODOL terletak pada kelalaian pemerintah, khususnya Kementerian Perhubungan dan Kepolisian, dalam melakukan pengawasan ketat di lapangan.
“Yang perlu dipahami oleh semua pihak, baik regulator, pemilik barang, maupun pemilik angkutan, dampak ODOL ini sangat membahayakan,” ujar Bambang Haryo dalam keterangannya, Selasa (14/5).
Ia menjelaskan bahwa praktik ODOL bermula dari tingginya kebutuhan distribusi logistik dan keinginan pemilik barang untuk menekan biaya pengiriman. Hal ini mendorong penggunaan satu kendaraan dengan kapasitas berlebih guna menekan ongkos transportasi.
“Karena ada permintaan ongkos murah, maka harus ada modifikasi pada suplai. Itu dilakukan dengan dua cara: legal, melalui perpanjangan bak barang, atau ilegal, dengan menumpuk muatan secara berlebihan,” jelasnya.
Sayangnya, lanjut Bambang, modifikasi ilegal ini kerap lolos dari pantauan petugas kepolisian dan jembatan timbang. Ia menyebut hal ini sebagai bentuk kegagalan regulator dalam menjalankan fungsi pengawasan.
“Kalau truk bisa melintas dalam kondisi ODOL, berarti yang lalai adalah pihak yang berwenang, yaitu Kementerian Perhubungan dan Kepolisian. Tidak perlu saling menyalahkan. Jika aturan ditegakkan dengan serius, truk ODOL tidak akan bisa beroperasi di jalan raya,” tegasnya.
Politisi yang dikenal dengan inisial BHS ini menekankan bahwa keberadaan truk ODOL sangat membahayakan keselamatan lalu lintas. Ia menyebut beberapa insiden fatal seperti kecelakaan di Balikpapan yang menewaskan lima orang, di Purworejo dengan korban sepuluh orang, serta kasus di Lamongan yang meski tak memakan korban jiwa, tetap menimbulkan kerugian materiil.
Selain di jalan raya, truk ODOL juga dinilai berbahaya saat melintas di jalan tol. Dengan kecepatan hanya 20-30 km/jam, truk jenis ini rawan tertabrak kendaraan lain dari belakang yang tidak menyadari lambatnya laju kendaraan tersebut. Salah satu korban kecelakaan akibat kondisi ini, kata Bambang, adalah anggota DPR Gus Alam.
Ia menyoroti jarangnya patroli polisi di jalan tol sebagai salah satu penyebab lemahnya pengawasan. Padahal, Peraturan Pemerintah Tahun 2013 tentang Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mengatur batas kecepatan minimal kendaraan di jalan tol sebesar 60 km/jam.
“Seharusnya setiap 10 kilometer ada mobil patroli polisi yang bersiaga. Kenyataannya, sangat jarang kita lihat patroli di jalan tol. Ini bentuk kelalaian,” ujarnya.
Tak hanya berdampak di darat, Bambang juga menyoroti bahaya truk ODOL bagi transportasi laut. Ia mengungkapkan bahwa beban berlebih pada truk dapat merusak struktur kapal dan mengganggu stabilitas, sehingga berisiko menyebabkan kapal tenggelam atau terbalik.
Menanggapi pernyataan Ketua Umum APTRINDO, Gemilang Tarigan, yang menyambut baik langkah Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi dalam memperketat pengawasan terhadap ODOL, Bambang Haryo memberikan dukungannya.
“Langkah tersebut sudah tepat. Dengan jumlah truk mencapai lebih dari enam juta unit, penegakan aturan yang tegas tak hanya meningkatkan keselamatan, tetapi juga akan berdampak positif pada pemerataan distribusi muatan dan keberlangsungan usaha angkutan barang,” pungkasnya.
