YOGYAKARTA – Anggota Komisi VII DPR-RI, Bambang Haryo Soekartono, mengkritisi keberadaan Bandara Internasional Yogyakarta (YIA) yang berlokasi di Kulon Progo. Ia menilai bandara tersebut justru lebih merugikan dibanding menguntungkan masyarakat, terutama bagi mereka yang hendak menuju dan meninggalkan Yogyakarta.

“Bandara Kulon Progo ini sebenarnya sangat merugikan, bukan menguntungkan masyarakat yang akan menuju ke Yogyakarta, dibanding mereka yang mendarat di Bandara Adisutjipto. Terbukti sekarang ini Bandara Kulon Progo menjadi sangat sepi diminati masyarakat,” ujar pemilik sapaan akrab BHS.

Menurut Kapoksi Komisi VII DPR-RI ini, masyarakat dari Pulau Jawa cenderung lebih memilih moda transportasi kereta api ketimbang menggunakan pesawat karena faktor waktu tempuh dan harga tiket dan transportasi lanjutan yang mahal dari bandara ke jogja. “Jarak dari Jogja ke bandara dengan kendaraan 1,5 jam, dan dengan kereta api sekitar 1 jam ” terangnya.

Selain itu, ia menyoroti ketidaksesuaian jadwal antara kereta api dan penerbangan. “Ini menyulitkan, terutama karena jadwal kereta api tidak selalu terkoneksi dengan jadwal penerbangan,” ucapnya.

Tak hanya soal aksesibilitas, Anggota Dewan Pakar DPP Gerindra ini juga menyinggung besarnya anggaran pembangunan YIA yang dinilai tidak sebanding dengan hasilnya.

“Bandara Kulon Progo ini dibangun dengan biaya yang sangat mahal, sekitar Rp11–12 triliun, padahal kalau dibandingkan dengan Bandara Kertajati yang luasnya dua kali lipat, itu hanya dibangun dengan biaya Rp2,8 triliun,” katanya.

“Ini perlu dilakukan audit, kenapa bisa semahal itu, padahal luas bandara lebih kecil, spesifikasi runway dan jumlah garbaratanya hampir sama.” Tutur BHS

Dari sisi keselamatan, BHS menganggap lokasi YIA tidak ideal.

“Pertama, bandara ini sangat dekat dengan pantai selatan. Potensi terjadinya tsunami akibat gempa megathrust di lempengan Indo-Australia sangat besar. Ini pernah terjadi, dengan ketinggian tsunami mencapai 13 meter di sekitar lokasi bandara, sekitar 200 tahun lalu, apalagi mengingat kondisi tanah di area bandara cenderung bisa terjadi likuifaksi karena tanah itu bergerak cenderung gembur, sehingga jika terjadi tsunami, infrastruktur bandara bisa hancur. Ini tidak bisa dijamin kelangsungannya,” kata BHS

Lebih lanjut, ia mengungkapkan potensi bahaya lainnya yang bisa mengancam keselamatan penerbangan. Karena runway bandara ini tidak lebih dari 500 meter dari bibir pantai, pasir pantai bisa mengganggu penerbangan. Ini membahayakan turbin pesawat, apalagi saat musim angin utara, yang bisa menyebabkan kerusakan mesin dan kemacetan operasional.

” Ini membahayakan turbin pesawat, apalagi saat musim angin selatan menuju ke utara. Ini bisa menyebabkan kerusakan mesin dan kemacetan operasional.” Tukasnya

BHS juga menyoroti fenomena turbulensi angin pantai yang membentur pegunungan didekat bandara di sisi utara bandara nilainya sangat berisiko terhadap proses lepas landas pesawat. “Ini berbahaya sekali, yang juga kondisi ini juga diketahui oleh lembaga Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) ” tegasnya.

Ia juga menambahkan bahwa lokasi bandara yang diapit dua sungai yaitu Sungai Serang di timur dan Sungai Bogowonto di barat sering membuat area kerawanan banjir.

“Kerap terjadi banjir akibat arus deras dari hulu yang bertemu dengan pasang laut. Kalau runway-nya sampai tergenang air, itu bisa membahayakan dan menyebabkan pesawar overshoot pada saat mendarat.”

Bambang mengaku telah menyuarakan kekhawatiran tersebut sejak awal pembangunan saat di komisi VI DPR-RI.

“Saya (BHS) sudah mengatakan sejak awal bahwa bandara tersebut tidak visible, apalagi posisinya sejajar dengan bibir pantai. Itu tidak pernah terjadi di bandara lain. Ombak pantai bisa menimbulkan butiran garam yang masuk ke turbin. Tidak hanya pasir, air garam pun bisa merusak,” ungkapnya.

Untuk itu, ia mendesak agar dilakukan audit menyeluruh dan kajian ulang atas keberadaan YIA. “Sudah waktunya bandara ini dilakukan kajian dan audit mendalam. Walaupun sudah terlambat, tetapi karena menyangkut keselamatan publik, tidak ada kata terlambat. Bila perlu, ditutup dan dikembalikan ke lokasi semula di Adisutjipto,” tegas BHS.

Ia juga menilai bahwa hingga saat ini belum ada pesawat berbadan lebar (wide body) yang rutin beroperasi ke Yogyakarta, walaupun memiliki garbarata untuk widebody, melainkan hanya pesawat kecil (narrow body) yang mendarat di bandara tersebut.

“Kalau dikembalikan ke Bandara Adisutjipto, karena menyangkut masalah keselamatan. Adisutjipto adalah bandara yang paling layak, karena integrasi moda transportasinya baik Bus dan Kereta Api, terkoneksi dengan baik. Jadi kembalikan saja demi untuk keselamatan publik” pungkasnya.