Jakarta – Anggota Komisi VII DPR RI, Bambang Haryo Soekartono, menyayangkan potensi pencabutan status Geopark Danau Toba oleh UNESCO. Ia menilai, kerusakan yang terjadi di kawasan tersebut bukan disebabkan oleh sektor pariwisata, melainkan akibat pembangunan infrastruktur masif pada masa pemerintahan sebelumnya.
“Tentu berita ini sangat mempengaruhi kepariwisataan kita, karena Geopark Toba masuk dalam daya tarik utama pariwisata. Tapi kerusakan Geopark Toba bukan karena pariwisatanya, melainkan karena pembangunan infrastruktur besar-besaran yang dilakukan pemerintahan yang lalu,” ujar Bambang di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (3/7).
Bambang menegaskan bahwa perusahaan yang melakukan pembangunan infrastruktur di kawasan Geopark Toba harus bertanggung jawab atas dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Ia juga menyebut, bila terdapat unsur pelanggaran hukum dan undang-undang, maka proses hukum harus dilakukan.
“Kita tahu siapa perusahaannya, milik siapa, dan sebagainya. Ini harus diproses. Kalau itu menteri, ya sudah tidak menjabat lagi, cabut saja. Kalau perusahaan, proses secara hukum karena merusak alam. Ini melanggar undang-undang, bisa kena sanksi,” tegas politisi Partai Gerindra tersebut.
Sebagai langkah antisipatif, Bambang mengusulkan pembentukan tim khusus untuk menyelidiki secara mendalam kerusakan di Geopark Toba dan mencegah kejadian serupa di kawasan geopark lainnya di Indonesia.
“Harus diturunkan satu tim agar tidak terjadi lagi hal semacam ini. Tim pencegahan ke depan, karena geopark kita banyak, mungkin lebih dari sepuluh. Jangan sampai rusak juga, termasuk Raja Ampat,” katanya.
Ia juga menyoroti bahwa pembangunan yang dilakukan tidak memperhatikan aspek keberlanjutan lingkungan, yang justru dapat menimbulkan kerusakan lebih luas jika dilakukan perbaikan atau pembongkaran.
“Pembangunan ini tidak berdasarkan prinsip menjaga kesinambungan alam. Kalau mau diperbaiki, harus dibongkar semua. Tapi itu justru bisa menimbulkan kerusakan yang lebih parah,” kata Bambang.
Bambang juga menyarankan agar pemerintah melakukan pendekatan diplomatis dengan UNESCO melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) guna mencari jalan tengah agar status Geopark Toba bisa dipertahankan.
“Satu-satunya cara adalah menerima permasalahan itu, lalu negosiasi dengan UNESCO melalui KLHK. Tapi ini bukan tanggung jawab Kementerian Pariwisata. Mereka hanya terdampak karena daya tarik Danau Toba jadi berkurang,” ucapnya.
Sementara itu, General Manager Badan Pengelola Kaldera Toba UNESCO Global Geopark, Azizul Cholis, menyatakan bahwa tim asesor UNESCO akan melakukan kunjungan lapangan ke Danau Toba pada 21–25 Juli 2025. Tujuan kunjungan adalah untuk melakukan revalidasi dan menilai sejauh mana Indonesia memenuhi persyaratan guna mempertahankan status “Green Card” atau keanggotaan tetap UNESCO Global Geopark.
Keputusan akhir terkait status Geopark Toba akan ditentukan oleh UNESCO sebagai lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa yang membidangi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.