Jakarta – Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang menjadi turunan dari Undang-Undang Kesehatan menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan, salah satunya dari Komisi VII DPR RI.
Regulasi ini dinilai tidak hanya menekan industri hasil tembakau (IHT), tetapi juga berpotensi menimbulkan gejolak sosial dan ekonomi akibat ancaman terhadap keberlangsungan jutaan tenaga kerja.
Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Gerindra, Bambang Haryo Soekartono, menyampaikan kritik keras terhadap PP tersebut yang menurutnya berseberangan dengan visi Presiden RI terpilih Prabowo Subianto, yang fokus pada penguatan ekonomi nasional dan peningkatan lapangan kerja.
“Pak Prabowo menargetkan pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen dan peningkatan serapan tenaga kerja secara signifikan. Tapi aturan ini justru menghambat sektor padat karya seperti industri tembakau yang menyerap jutaan pekerja dari hulu hingga hilir,” ujar Bambang Haryo di Jakarta, Jumat (04/7).
Salah satu yang menjadi sorotan adalah larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari fasilitas pendidikan dan pembatasan iklan luar ruang dalam radius 500 meter, yang dinilai terlalu membatasi ruang usaha secara sepihak. Bahkan, wacana plain packaging atau kemasan rokok polos tanpa merek yang tengah digodok dalam Rancangan Permenkes juga memicu kekhawatiran akan melemahnya daya saing produk nasional.
“Langkah ini tidak hanya menekan industri, tapi juga akan berdampak pada petani tembakau dan pekerja pabrik rokok di seluruh Indonesia. Belum lagi UMKM yang menggantungkan usahanya dari rantai distribusi produk tembakau,” tambahnya.
Sebagai informasi, industri hasil tembakau di Indonesia menyerap lebih dari 5 juta tenaga kerja langsung dan tidak langsung, termasuk petani, buruh pabrik, pedagang eceran, hingga distributor logistik. Bambang Haryo mengingatkan bahwa keputusan yang terburu-buru dalam regulasi seperti ini dapat berdampak panjang pada kestabilan ekonomi daerah, terutama sentra tembakau seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, dan NTB.