Semarang — Anggota Komisi VII DPR RI, Bambang Haryo Soekartono (BHS), meminta Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang serius mengangkat batik mangrove khas Kampung Batik Malon agar lebih dikenal luas, bahkan hingga mancanegara. Ia menilai, keunikan batik Malon terletak pada proses pewarnaannya yang sepenuhnya menggunakan bahan alami dari mangrove.
Menurut BHS, dari sekitar 225 jenis mangrove di Indonesia, setidaknya 100 jenis sudah dimanfaatkan sebagai bahan pewarna batik. Namun, potensi tersebut belum maksimal karena sosialisasi di media sosial maupun promosi di ruang publik masih terbatas. “Ini ciri khas yang harus disampaikan ke publik. Sosialisasi di media sosial masih minim, harus digencarkan supaya wisatawan tertarik datang ke Desa Malon,” ujarnya saat kunjungan kerja ke Kampung Batik Malon, Jumat (26/9).
BHS mendorong Pemkot dan pihak terkait menempatkan batik Malon di titik-titik strategis seperti bandara, stasiun, rest area, hingga Pelabuhan Tanjung Emas yang rutin disinggahi kapal pesiar. Ia juga mengusulkan agar Badan Otorita Borobudur memfasilitasi kehadiran batik Malon di destinasi wisata internasional seperti kawasan Candi Borobudur.
Selain promosi, ia menekankan pentingnya dukungan permodalan bagi perajin. Saat ini, akses Kredit Usaha Rakyat (KUR) berbunga rendah belum menjangkau wilayah kelurahan seperti Malon. “Di desa wisata ada modal, tapi di kelurahan seperti Malon belum ada. Ini harus dipikirkan supaya mereka bisa dapat pembiayaan,” jelas legislator Fraksi Gerindra itu.
BHS juga menyoroti perlunya pendampingan untuk sertifikasi serta peluang tampil di pameran internasional, termasuk World Expo Osaka. Menurutnya, batik Malon sudah memiliki SNI dan sertifikat halal, sehingga tinggal didorong untuk tampil dalam event global. “SNI dan halal sudah ada, tinggal dorongan agar bisa tampil di event besar,” imbuhnya.
Dalam aspek regenerasi, ia mengusulkan program wisata edukasi batik bagi pelajar. Hal ini dinilai penting mengingat sebagian besar pembatik di Malon sudah berusia lanjut. “Edukasi penting agar muncul generasi baru. Biaya kunjungan bisa disiasati lewat subsidi silang atau dukungan CSR,” pungkasnya.