JAKARTA – Industri maritim Indonesia dinilai membutuhkan lompatan besar agar mampu menjadi tulang punggung ekonomi nasional.
Seruan itu disampaikan Anggota Komisi VII DPR RI sekaligus Ketua Dewan Penasehat Ikatan Perusahaan Industri Kapal Indonesia (IPERINDO), Ir. H. Bambang Haryo Soekartono (BHS), saat membuka kegiatan Awareness Safety Leadership dan Bimbingan Teknis Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) di Gedung PT Biro Klasifikasi Indonesia (BKI), Jakarta Utara, Selasa (25/11).
Di hadapan sekitar 100 perwakilan perusahaan galangan kapal, BHS menekankan perlunya menempatkan kembali sektor maritim sebagai garda depan pembangunan nasional. Menurutnya, tanpa kekuatan maritim yang tangguh, rantai logistik Indonesia akan selalu berada pada posisi rawan.
“Kita harus menyuarakan industri maritim lebih keras lagi agar sektor ini benar-benar diperhatikan. Tanpa kapal yang beroperasi, logistik tidak terdistribusi dan mobilitas antarpulau akan tersendat,” tegasnya.
Sebagai negara kepulauan dengan dua pertiga wilayah berupa laut, kata BHS, transportasi laut seharusnya menjadi fondasi utama pertumbuhan ekonomi nasional.
Alumni Teknik Perkapalan ITS Surabaya ini menekankan bahwa industri galangan kapal merupakan sektor padat modal, teknologi, dan karya. Karena itu, sumber daya manusia adalah faktor paling menentukan keberhasilan operasional.
“Operasional galangan sangat bergantung pada SDM. Modal bisa berkembang atau hancur, tergantung kualitas orang yang mengelolanya,” ujar BHS.
Ia menegaskan bahwa penerapan SMK3 harus dipandang sebagai investasi jangka panjang yang meningkatkan efisiensi dan produktivitas, bukan sebagai beban biaya tambahan. Menurutnya, masih banyak galangan yang belum menyadari nilai strategis SMK3 dalam menekan risiko kecelakaan dan memperkuat kepercayaan publik.
Industri galangan kapal, lanjutnya, merupakan salah satu sektor dengan tingkat risiko kerja paling tinggi. Karena itu, SMK3 harus diterapkan secara konsisten dan menyeluruh, bukan hanya sekadar memenuhi persyaratan sertifikasi.
Dalam forum tersebut, Ketua Dewan Pembina Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, juga menyoroti minimnya perhatian struktural terhadap industri maritim. Ia menyebut sektor ini mencakup banyak sub-bidang—mulai dari perikanan, offshore, hingga transportasi laut—namun belum memiliki struktur regulasi yang kuat dan fokus.
“Maritim ini sangat luas cakupannya. Sudah saatnya ada Direktur Industri Maritim yang berdiri sendiri, agar kebijakan sektor ini lebih terarah dan tidak dipandang sebelah mata,” tegasnya.
BHS juga menyatakan bahwa UU Keselamatan Kerja Tahun 1970 sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan teknologi dan dinamika industri saat ini.
“Undang-undang itu sudah berusia puluhan tahun. Sudah waktunya direvisi. Saya akan mendorong Badan Legislasi DPR untuk mengevaluasinya,” kata BHS.
BHS menyampaikan bahwa penerapan SMK3 tidak hanya penting bagi galangan kapal, tetapi juga bagi perusahaan pelayaran sebagai pengguna jasa. Dengan lebih dari 21 ribu kapal yang berada di bawah klasifikasi BKI, edukasi dan pemahaman soal keselamatan kerja harus diperluas agar risiko kecelakaan dapat ditekan hingga mendekati nol.
“Jika terjadi kecelakaan, reputasi galangan ikut terdampak. Kita ingin industri ini menuju zero incident agar kepercayaan publik meningkat,” ujarnya.
BHS mengapresiasi penyelenggaraan Bimbingan Teknis SMK3 oleh IPERINDO dan berharap kegiatan tersebut dapat menjadi langkah nyata dalam memperkuat budaya keselamatan di industri galangan kapal nasional.
“Semoga bimtek ini memberi manfaat besar bagi industri galangan. IPERINDO akan terus mendorong anggota yang belum menerapkan SMK3 agar segera berbenah,” tutupnya.
