Jakarta, – Audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Atas Intensifikasi dan Ekstensifikasi PNBP Tahun Anggaran 2020 hingga Semester l 2022 pada Kemenkumham mengungkap negara kehilangan Pendapatan Negara Bukan Pajak (BNPB) sebesar Rp11 triliun lebih dari tahun 2017 hingga 2020 atas pemberlakuan Bebas Visa Kunjungan (BVK) dan potensi kehilangan PNBP sebesar Rp3 triliun lebih per tahun atas rencana pemberlakuan kembali BVK.

Kebijakan BVK telah diterapkan pemerintah sejak tahun 1983 dan telah mengalami beberapa kali perubahan. Kebijakan BVK terakhir ditetapkan dalam Perpres Nomor 21 Tahun 2016. Dalam Perpres tersebut ditetapkan 169 negara yang dibebaskan dari kewajiban memiliki visa kunjungan untuk masuk ke wilayah Indonesia.

Dari 169 negara tersebut hanya 35 negara saja yang juga memberikan BVK bagi WNI yang akan ke negaranya. Sedangkan 134 negara lainnya tidak memberikan asas timbal balik, artinya WNI tetap diwajibkan mengurus visa untuk datang ke negara-negara tersebut.

Sebelum Perpres tersebut terbit, negara-negara yang tidak memberikan asas timbal balik diharuskan memiliki Visa Kunjungan Saat Kedatangan (VKSK) untuk masuk ke wilayah Indonesia.

VKSK adalah visa yang diberikan kepada orang asing pada saat kedatangan di Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI). Dengan VKSK, orang asing tidak perlu melakukan pengurusan visa sebelumnya. Orang asing cukup melakukan pembayaran visa saat tiba di wilayah Indonesia untuk memperoleh visa. Orang asing yang masuk menggunakan BVK maupun VKSK dapat tinggal di wilayah Indonesia paling lama 30 hari.

BVK dan VKSK merupakan kebijakan yang saling meniadakan, yang berarti jika suatu negara dapat fasilitas BVK, maka tidak mendapatkan fasilitas VKSK, begitu juga sebaliknya.

Hasil pemeriksaan atas pengawasan keimigrasian terhadap orang asing yang
memperoleh fasilitas BVK tahun 2015 hingga semester I tahun 2017 menunjukkan bahwa pembentukan kebijakan BVK tidak sesuai prosedur dan asas pembentukan peraturan
perundang-undangan. Pembentukan Perpres Nomor 21 Tahun 2016 tidak diprakarsai oleh instansi yang berwenang dan tidak bersifat mendesak. Selain itu, Perpres Nomor 21 Tahun 2016 tidak memenuhi asas timbal balik.

Berdasarkan data perlintasan, diketahui jumlah kedatangan WNA dari negara subyek BVK pada tahun 2010 sampai dengan 2017 dengan menggunakan visa kunjungan dan VKSK adalah sebagai berikut.

Rekapitulasi Jumlah Kunjungan Dari Negara Subyek BVK yang Tidak Memberikan Asas Timbal Balik dari Tahun 2010-2017 (dok.LHP BPK)
Rekapitulasi Jumlah Kunjungan Dari Negara Subyek BVK yang Tidak Memberikan Asas Timbal Balik dari Tahun 2010-2017 (dok.LHP BPK)

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa dengan diberikan fasilitas BVK, maka pada tahun 2016 dan 2017 terjadi peningkatan jumlah kunjungan WNA sebanyak dua kali lipat atau lebih dari tahun 2015.

Pada tahun 2017 hingga 2020 jumlah kunjungan warga negara asing (WNA) dari negara subyek BVK yang tidak menerapkan asas timbal balik terus meningkat dengan total jumlah kunjungan sebanyak 22.272.040 WNA.

Meskipun terjadi peningkatan jumlah kunjungan WNA, negara justru mengalami kehilangan PNBP karena penerapan BVK. Jika menggunakan tarif VKSK yang berlaku saat ini yaitu Rp500.000,00, maka negara kehilangan penerimaan dari layanan visa kunjungan saat kedatangan minimal sebesar Rp11.136.020.000.000,00 dengan rincian sebagai berikut.

Rekapitulasi Kehilangan PNBP Atas Layanan Visa Dari Negara Subyek BVK yang Tidak Memberikan Asas Timbal Balik (dok.LHP BPK)
Rekapitulasi Kehilangan PNBP Atas Layanan Visa Dari Negara Subyek BVK yang Tidak Memberikan Asas Timbal Balik (dok.LHP BPK)

Pada masa pandemi Covid-19, pemerintah mengambil beberapa kebijakan keimigrasian dalam rangka penanggulangan penyebaran COVID-19, dengan menerapkan pembatasan perlintasan orang asing yang akan masuk ke wilayah Indonesia. Pada 20 Maret 2020, kebijakan BVK dihentikan sementara melalui Permenkumham Nomor 8 Tahun 2020.

Pada 15 September 2021, pemerintah menerbitkan Permenkumham Nomor 34 Tahun 2021 tentang Pemberian Visa Dan Izin Tinggal Keimigrasian dalam Masa Penanganan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Dalam peraturan tersebut, dijelaskan bahwa menteri menghentikan sementara pemberian BVK dan VKSK sampai dengan pandemi Covid-19 dinyatakan berakhir oleh Pemerintah Republik Indonesia. Namun demikian, terdapat klausul bahwa penghentian pemberian BVK dikecualikan bagi awak alat angkut yang datang dengan menggunakan alat angkutnya.

Pada tahun 2022 Ditjen Imigrasi menerbitkan surat edaran tentang kebijakan BVK Wisata dan VKSK Khusus Wisata kepada beberapa negara. Kebijakan tersebut dalam rangka melaksanakan fungsi keimigrasian sebagai fasilitator pembangunan kesejahteraan masyarakat dan mendukung kebijakan pemerintah membuka kembali sektor wisata yang produktif dan aman dari Covid-19.

Surat edaran tersebut berisi kebijakan pemberian BVK kepada negara dari wilayah ASEAN dan kebijakan masuk wilayah negara Indonesia kepada negara tertentu dengan menggunakan VKSK Khusus Wisata dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi di bidang pariwisata.

Atas pelaksanaan kebijakan tersebut, Ditjen Imigrasi telah memperoleh PNBP dari VKSK sebesar Rp834.235.500.000,00 selama periode Januari hingga Oktober tahun 2022. Nilai tersebut mengalami kenaikan jika dibandingkan realisasi VKSK tahun 2019 sebesar Rp150.981.543.245,00 dan tahun 2020 sebesar Rp35.536.000.000,00.

Kebijakan penghapusan BVK dan penerapan VKSK hanya bersifat sementara karena kebijakan tersebut hanya untuk merespon kondisi pandemi COVID-19 dan hanya diatur dalam Permenkumham.

Perpres Nomor 21 Tahun 2016 belum dicabut atau diubah dengan peraturan yang setara atau lebih tinggi sehingga berpotensi untuk diterapkan kembali. Jika kebijakan BVK kepada 169 negara tersebut diterapkan kembali, negara berpotensi kehilangan PNBP dari VKSK yang berasal dari negara subyek BVK.

BPK menyimpulkan dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembentukan kebijakan BVK tidak sesuai prosedur dan asas pembentukan peraturan perundang-undangan.

Penerapan kebijakan tersebut telah meningkatkan devisa dari sektor pariwisata, walaupun tidak terdapat data devisa yang secara spesifik berasal dari wisatawan yang menggunakan fasilitas BVK. Namun kebijakan tersebut telah secara langsung menyebabkan negara kehilangan PNBP dari VKSK sebesar Rp11.136.020.000.000,00 selama tahun 2017 hingga 2020, dan negara juga berpotensi kehilangan PNBP dari VKSK sebesar Rp3.022.642.695.652,17 per tahun jika BVK atas 169 negara kembali diterapkan.

Kondisi tersebut tidak sesuai dengan UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian:

  1. Pasal 41 ayat (2) yang menyatakan bahwa “orang asing yang dapat diberikan VKSK adalah warga negara dari negara tertentu yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri”;
  2. Pasal 43 ayat (1) yang menyatakan bahwa “dalam hal tertentu orang asing dapat dibebaskan dari kewajiban memiliki Visa”;
  3. Pasal 43 ayat (2) huruf a yang menyatakan bahwa “orang asing yang dibebaskan dari kewajiban memiliki Visa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah warga negara dari negara tertentu yang ditetapkan berdasarkan Perpres dengan memperhatikan asas timbal balik dan asas manfaat”;
  4. Penjelasan Pasal 43 ayat (2) huruf a yang menyatakan bahwa “yang dimaksud ‘pembebasan Visa’ dalam ketentuan ini misalnya untuk kepentingan pariwisata yang membawa manfaat bagi perkembangan pembangunan nasional dengan memperhatikan asas timbal balik, yaitu pembebasan Visa hanya diberikan kepada orang asing dari negara yang juga memberikan pembebasan Visa kepada warga negara Indonesia”.

Hal tersebut mengakibatkan Negara kehilangan PNBP sebesar Rp11.136.020.000.000,00 dari tahun 2017 hingga 2020 atas pemberlakuan BVK, negara berpotensi kehilangan PNBP sebesar Rp3.022.642.695.652,17 per tahun atas rencana pemberlakuan kembali BVK, dan warga Indonesia tidak mendapatkan perlakuan yang sama ketika melakukannkunjungan ke negara penerima kebijakan BVK. Hal tersebut disebabkan oleh pemberlakuan kebijakan bebas visa kunjungan tidak mempertimbangkan asas timbal balik dan asas manfaat.

Atas permasalahan tersebut, Dirjen Imigrasi Kemenkumham menyatakan sependapat bahwa pembentukan kebijakan BVK yang dituangkan dalam Perpres No. 21 Tahun 2016 tidak diprakarsai oleh Ditjen Imigrasi sebagai instansi yang berwenang, tidak bersifat mendesak, dan tidak memenuhi asas timbal balik. Akibatnya, negara berpotensi kehilangan PNBP dari VKSK sebesar Rp3.022.642.695.652,00 per tahun atas rencana pemberlakuan kembali kebijakan BVK.

Pemberlakuan kembali kebijakan BVK harus mempertimbangkan asas timbal balik dan asas manfaat sesuai Pasal 43 UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dan berharap dukungan dari instansi terkait yang menginginkan pemberlakukan kembali BVK, agar juga mempertimbangkan kedua asas tersebut.

BPK merekomendasikan Menteri Hukum dan HAM bersama kementerian/lembaga terkait antara lain Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Pariwisata, Kementerian Luar Negeri, Kepolisian serta BIN melakukan evaluasi kebijakan BVK dengan mempertimbangkan asas timbal balik dan asas manfaat dan melaporkan hasil evaluasi tersebut kepada Presiden.

Deliknews.com telah mengirimkan surat konfirmasi pada (18/9/23) mempertanyakan tindak lanjut dari temuan-temuan BPK kepada Menkumham, namun belum ada tanggapan, hingga berita ini diterbitkan.