Denpasar – Menanggapi kasus terkait perkara Korupsi Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) Universitas Udayana (Unud) yang menyeret Rektor Prof Gde Antara dkk, pengamat ekosistem dan kebijakan sosial, Agung Pram mengajak semua pihak untuk tetap pada koridor asas praduga tidak bersalah.
Bagaimana melihat masalah ini secara netral dan dikatakan terlalu kejam serta dini bila sekarang ini menjastis Rektor benar-benar korupsi sementara tindakan tersebut memiliki dasar peraturan dari lembaga negara bagi pengembangan institusi sebagai dasar pemungutan SPI di seluruh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Indonesia.
“Saya pribadi lebih melihat kasus ini sebagai pembelajaran bagi seluruh pihak. Ada hal yang harus dipertimbangkan dan ditelaah dengan mengedepankan independensi, kebijakan organisasi, institusi dan juga peran negara. Mari kita bersama-sama melihat masalah ini secara netral. Rasanya terlalu kejam dan dini bila menyatakan seseorang sebagai koruptor sementara sebetulnya seseorang itu memiliki niat baik dan berdarah-darah membangun pendidikan. Justifikasi hukumnya harus ditegakkan dan jangan sampai ego mengalahkan nalar dan etika serta kesantunan,” terang Gung Pram kepada wartwan di Denpasar Bali, Kamis (02/11/2023)
Lebih lanjut disampaikan Gung Pram, bila melihat hal ini sebagai kasus korupsi, menurut nya pengertian korupsi memiliki banyak pemahaman dalam kaidah bahasa dan referensi. Indonesia sendiri. melalui UU No.31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mengelompokkan korupsi ke dalam 7 (tujuh) jenis yang utama.
“Ketujuh jenis tersebut adalah kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Jadi bila mengacu pada eksepsi yang saya baca di media, nampaknya sangat perlu untuk meninjau ulang permasalahan ini secara netral,” sambung pria yang pernah mengenyam pendidikan hukum di salah satu Universitas Surabaya.
Sebagai pengamat ekosistem dan sosial, ia mengatakan masyarakat sekarang lebih melek hukum lantaran berinteraksi dengan media sebagai bagian dari proses disrupsi digital. Media dapat menjadi sarana edukasi yang kuat, diperlukan netralitas dan keterbukaan dalam memandang pokok perkara.
“Media sangat berperan dalam menyampaikan kronologi sebuah kejadian, independensi pemahaman, asas praduga tak bersalah serta tatanan dalam pengelolaan kebijakan dapat dijadikan sebagai referensi. Ini ekosistem terintegrasi yang kompleks dan bertumbuh. Netralitas menjadi kunci agar permasalahan menjadi terang dan menumbuhkan persepsi positif di masyarakat, ini adalah salah satu bentuk edukasi,” pungkasnya.
Ia berharap kapasitas Prof Gde Antara sebagai guru besar dan Rektor tetap harus dihargai dalam koridor azas praduga tak bersalah. Semestinya harus dirunut adalah asas kausalitas, kewenangan dan strategi kebijakan yang mungkin memiliki kesalahan implementasi dan resiko.
Bila ini terjadi, artinya ada hal mendasar yang harus diperbaiki dan harus disadari bersama, dengan keterbukaan, netralitas dan kolaborasi yang positif. Tentunya, banyak para cendekiawan negeri ini yang bersedia urun rembug untuk ikut memecahkan persoalan permasalahan terjadi dalam pengembangan perguruan tinggi negeri.
“Sebagai pribadi, saya sempat mengurai dan memahami pemikiran di masyarakat awam agar jangan sampai ada bias pemahaman pengertian korupsi menurut UU No.31 Tahun 1999 dengan mengklasifikasikan secara mendasar sebagai tindakan penyelewengan kekuasaan demi keuntungan pribadi atau korporasi. Harus dirunut dan dilihat dalam perspektif yang terintegrasi dengan kausalitas, tujuan dan kebijakan organisasi atau institusi,” tutup Gung Pram yang juga adalah alumni ITS dan memiliki sertifikasi dalam bidang engineering, digital, sustainability serta supply chain dari beberapa institusi dalam dan luar negeri. (*)
Tinggalkan Balasan